Sabtu, 21 November 2009

Penelitian Seni Rupa

PENELITIAN SENI RUPA:

MENCARITAHU REALITAS NILAI DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN[0]

Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si.[1]

A. Pengantar

Memperbincangkan seni rupa dalam ranah fungsi rupanya tidak lagi relevan di sini, apakah itu masuk golongan seni murni atau golongan seni terapan. Keduanya sebenarnya bisa saling dan silang fungsi, pure atau apllied. Beda itu hanya terletak pada konstruksi politis, persepsi. Saya tidak akan mempermasalahkan klaim atas kedua cabang seni rupa murni atau kriya. Saya menempatkan seni rupa pada umumnya. Menurut hemat saya seni rupa, ia sebuah karya seni, kehadirannya melalui pelibatan aspek motorik perupa, emosional dan juga intelektual. Ia memesankan nilai, individu atau kelompok. Nilai apa, itulah yang perlu dikaji, diteliti untuk mencari tahu realitas. Di mana letak realitas itulah sesungguhnya yang harus dicaritahu melalui penelitian budaya. Proses mencari realitas atau kebenaran nilai bukan soal matematika. Bukan suatu hal tabu untuk mengatakan hal unik, aneh apalagi ganjil. Tetapi jika itu terjadi apa adanya, empiris, kenapa tidak? Maka permasalahan yang akan dilihat di sini adalah bagaimana kita memaknai sebuah realitas seni rupa dalam pemahaman budaya melalui kegiatan penelitian.

B. Seni, perupa, kebudayaan dan masyarakat

Karya seni rupa dengan berbagai cabangnya adalah produk manusia. Cara pandang, perilaku dan bentuk karya yang dihasilkan adalah hadir di tengah masyarakat melalui kebudayaan[2]. Seni apapun, ia bukan tumbuh sendiri di luar konteks lingkungan yang telah melingkupinya, mempengaruhinya dan atau membentuknya. Maka tidak berlebihan pernyataan yang menyebutkan bahwa, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan. Tidak ada kebudayaan yang tumbuh tanpa masyarakat. Seni, seni rupa cabang kesenian adalah salah satu bentuk unsur kebudayaan. Dengan demikian masyarakat, kebudayaan, manusia dan seni adalah bagian integral yang bertalian satu sama lain.

Untuk memahami seni (rupa) tidak cukup hanya sebatas bentuk, melainkan harus menjangkau isi hinggá melibatkan ke empat unsur analisis seperti tersebut di atas. Identitas masyarakat sangat dipengaruhi sistem nilai sosial budaya, yang mewujud dari cara pandang, cara memahami, dan menilai sesuatu, termasuk di dalamnya mengenal seni. Seni dengan demikian adalah bentuk aktualisiasi atas sistem pengetahuan yang dimiliki. Masyarakat tradisional seperti lingkungan desa pola budayanya relatif homogin, berbeda dengan masyarakat kompleks seperti kota yang heterogen. Kebudayaan masyarakat sederhana relatif seragam, sistim kontrol kuat, bersifat kolektif. Masyarakat modern keberadaanya kompleks, sistim kontrol longgar, bersifat individual, sehingga perwujudan kebudayannya realtif bervariasi.

Kiranya dapat dipahami bahwa seni rupa bukan sekedar struktur rupa, tetapi merupakan sarana komunikasi warga masyarakat dalam menyampaikan sistem nilai yang diyakini. Perupa adalah bagian masyarakat yang mewakili nilai keindahannya. Dengan demikian seni rupa tidak lain adalah representasi kolektif, tradisi. Dalam struktur masyarakat modern nilai individu lebih kuat, akibatnya ide, perilaku dan ekpresi seni termasuk seni rupa cenderung bersifat pernyatan pribadi.

Latar lingkungan fisik, alam dan lingkungan sosial seperti sistem keyakinan, norma, nilai-nilai tidak terlepas begitu saja, ia menjadi frame warga yang pernah menjadi bagiannya. Lingkungan keluarga, peer group, tetangga, sekolah, masyarakat pekerjaan merupakan latar yang memiliki sumbangan dalam membentuk individu. Seperti apa gaya individu berekspresi, bentuk, dan tema maupun ide yang mewujud dalam tampilan seni rupa sangat dipengaruhi oleh lingkungannya.

Apabila masyarakat itu beragam, setiap individu dalam masyarakat juga merepresentasikan variasi. Jika seni adalah cabang dari kebudayaan, sudah barang tentu kebudayaan induknya kesenian tersebut dalam wadahnya di masyarakat. Setiap desa, wilayah tertentu, dan juga setiap etnik memiliki latar belakang sejarah, kearifan nilai-nilai lokal, sistim sosial budaya yang diwariskan generasi tokoh secara turun temurun. Masyarakat tidak dapat dipisah dengan lingkungan fisik, dan lingkungan sosial budaya, keberadaannya saling mempengaruhi satu sama lain.

Manusia dibimbing oleh nilai, pada saat sama manusia juga mengembangkan nilai. Setiap wilayah masyarakat di situ pula terdapat lingkungan sosial sebagaimana tercermin pada hubungan antar individu, dan lingkungan budaya yang melekat pada keyakinan masyarakat tersebut. Maka untuk memahami secara utuh suatu karya seni rupa tidak bisa lain semestinya menempatkan pada posisi sebagai warga masyarakat yang melibatkan diri dalam proses, dan waktu yang cukup panjang. Sistem pengetahuan yang dibangun tidak terpisahkan dengan persepsi terhadap realitas dan cara pandang internal yang erat bertalian dengan nilai-nilai.

C. Tentang realitas dan nilai

Sekali lagi berbicara tentang seni rupa tidak dapat dipisahkan dengan manusia. Bukan saja karena ia sebagai hasil tindakan manusia, tetapi di dalam aspek seni rupa terkandung refleksi tentang relasi manusia dengan manusia, manusia dengan alam lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Melalui seni rupa manusia menunjukkan, mempertanyakan, dan menawarkan berbagai kemungkinan posisi kemanusiannya. Fenomena seni rupa dengan demikian merupakan jagad refleksi kemanusiaan, sebuah dialektika yang tidak pernah berhenti sepanjang masa[3]

Dunia seni rupa diproses oleh dan sekaligus milik manusia. Ia dan peristiwa kesenian dikendalikan oleh aspek cipta, rasa dan karsa itu hanya melekat pada insan manusia bukan hewan atau makhluk lain. Ia adalah pernyataan pengalaman seseorang atau kelompok masyarakat tertentu[4]. Pengalaman rasa (keindahan) yang diekspresikan dalam berbagai bentuk seni rupa merupakan hasil interpretasi atas realitas yang hadir dalam realitas.

Realitas pada dasarnya adalah peristiwa sejarah umat manusia yang penuh dengan nilai. Realitas sepenuhnya terwujud dalam bidang etis, karena itu makna realitas lebih bersifat etis dari pada fisik. Realitas merupakan semacam fenomena misterius di balik fenomena kongkrit sehari-hari. Keberadaan dan interpretasi realitas atas realitas amat tergantung pada persepsi yang terbentuk oleh pengaruh kepekaan nilai estetis, nilai religius dan nilai sosial tentang dunia yang ada[5]

Pewujudan atas realitas yang diekpresikan melalui pelakunya adalah sebuah representasi nilai yang memadat dalam bentuk simbol[6]. Dalam budaya kolektif seperti halnya seni rupa, simbol lebih merupakan relasi atas struktur-struktur yang memuat pesan budaya. Pesan budaya lebih berupa nilai yang harus ditafsirkan maknanya berdasarkan wujud sebagai teks, dan aspek sosial budaya sebagai konteksnya[7]

Mengapa penting dalam menelusuri sebuah nilai dalam seni rupa. Oleh karena nilai adalah sesuatu yang dianggap positif, dihargai, diagungkan, dipelihara, dihormati, membuat orang bangga, bahkan nilai adalah segala-galanya. Konsep nilai merupakan satu dimensi dari seluruh usaha manusia[8]

Aspek nilai juga membantu untuk membedakan apa yang dilakukan, dan apa yang diinginkan, dirasa dan dipikirkan. Tindakan seseorang mencerminkan nilai yang dianut, nilai memberikan arah hidupnya. Orang bertindak berdasarkan nilai yang diyakini dan ini selalu diulang dan menjadi kaidah hidupnya. Semakin kuat nilai yang dipilih semakin kuat pengaruh nilai atas kehidupannya. Singkatnya nilai selalu meresapi dan mempengaruhi segala segi kehidupan manusia. Karena nilai adalah realitas dalam diri seseorang sebagai pendorong yang menjadi pedoman dalam hidupnya[9]

Dengan demikian karya seni rupa tak ubahnya adalah potret nilai perupanya yang ditafsirkan sebagai realitas. Subyektivitas dirinya apakah secara individual ataukah mewakili kolektifnya diwujudkan secara kongkrit dalam struktur bentuk dengan aneka cabangnya. Cara bagaimana mengungkap sebuah nilai dalam setiap karya seni rupa, lazimnya dilakukan dengan kegiatan penelitian (research).

D. Research, ”kebenaran” dan masalah obyektivitas

Dari segi bahasa, sebutan penelitian adalah bentukan dari kata dasar teliti, yang kira-kiranya maksudnya adalah cermat. Secara bebas dapat ditafsirkan penelitian kurang lebih adalah bagaimana kita memawas, melihat sesuatu dengan teliti dan cermat sebelum kita menarik simpulan atau pernyataan. Dalam terminologi asing, penelitian biasa disebut research, dari kata re berulang-ulang dan search mencari tahu. Dengan demikian research lebih merupakan usaha berulang kali untuk mencaritahu sesuatu, maksudnya adalah sesuatu yang perlu diketahui, yakni pengetahuan. Susunan pengetahuan yang sistematis itulah kaum ilmuwan menyebutnya sebagai ilmu.

Apa itu pengetahuan, maksudnya adalah kenyataan atau barangkali realitas? Kenyataan ini ditafsirkan sebagai ”kebenaran”, pertanyannya kebenaran yang mana? Itulah yang sering diperdebatkan. Apakah kebenaran itu obyektif atau subyektif. Dalam paradigma kuantitatif kebenaran adalah bersifat general, tunggal dan bersifat deduktif. Berlawanan dengan perspektif kualitatif, maka kebenaran itu bersifat jamak, kasusistis dan menuju proses induktif.

Suatu gejala, tanda, peristiwa, maupun situasi sering dilihat sebagai suatu fenomena yang juga lalu dikatakan realitas. Tetapi benarkan realitas itu ada pada fenomena tersebut? Itu sangat tergantung pada siapa yang memawas. Artinya bahwa kebenaan itu adalah konstruksi atas fenomena dengan orang yang memawas. Sebagai misal kecantikan tidak bisa digeneralisasi, tentu seorang isteri menurut suaminya dinilai cantik meskipun belum tentu menurut yang lain. Lalu dimana letak obyektivitasnya, kecantikannya atau yang menilainya. Inilah awal dari bias dalam menilai suatu hal atas cara pandang yang sepihak (etnosentris).

Dari mana pengetahuan dibangun? Pengetahuan yang dibangun masyarakat etnik didasarkan pada kenyataan yang sehari-hari dialami. Bukan atas apa yang seharusnya. Ini sangat berbeda dengan pengetahuan reasoning yang meletakkan kebenaran atas dasar logika teoritis. Berbeda dengan pengetahuan empiris, maka bukan penalaran yang dikemas dalam sebutan ilmiah, melainkan kenyataan di lapangan apa adanya. Sering terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan, itulah gambaran kebenaran reasoning, seharusnya dengan kebenaran empiris, senyatanya. Kita berada dalam wilayah mana dalam memawas. Tergantung kita ingin menggunakan kacamata siapa?

Persoalan pengetahuan yang dibenarkan atau ”kebenaran” sesungguhnya bersifat fleksibel, ia korban konstruksi atas kesepakatan, disusun atas asumsi keteraturan, ketertataan lalu diklasifikasi dan disimpulkan, jadilah kebenaran. Karena ia telah diuji maka kebenaran tersebut menjadi suatu teori.

Setiap peneliti adalah punya latar sejarah, kedalaman, penalaman dan kekuatan indera sehingga memiliki pengaruh dalam kemampuan mencermati fenomena. Ini artinya bahwa setiap orang bisa membuat penilaian, menyusunan pengetahuan dan mengkonsruksi obyektivitas. Obyektivitas adalah soal cara pandang. Pemaksaan, penyeragaman, thesis sok tahu atas ketidaktahuannya, menurut cara pandang kualitatif hanyalah akan menyesatkan dirinya sendiri dalam proses mencaritahu.

Seni rupa dalam bingkai kebudayaan dapat ditempatkan sebagai suatu subtansi kajian. Seni rupa hanyalah bagian dari unsur kesenian yang keberadaannya sama dengan kesenian lainnya (seni gerak, bunyi, tulis, rupa, dan campuran kesemuanya ini/ teater).

Kesenianpun harus disadari, keberadaannya tidak terpisahkan sebagai salah satu saja dari unsur kebudayaan. Dimana seni hadir, hendaknya juga harus dilihat keberadaannya, ia bukan sekedar obyek yang terpisah dengan subyeknya (perupa) apalagi dengan latar subyeknya. Dengan demikian seni rupa tidak hanya diposisikan sebagai teks, namun jika ingin dianalisis untuk mencaritahu kenyataan mengenainya secara utuh, secara sosiologis harus ditempatkan pada konteksnya. Ia penuh nilai, makna, bukan kuantitas tetapi kualitas, posisinya ada dalam wilayah kebudayaan.

Kendatipun demikian seni rupa hanyalah obyek, tidak lepas dari peran subyek (perupa), manusia sebagai penguasa dalam proses kreatifnya. Dalam ranah ini secara leluasa subyek bisa menciptakan, membangun, mengubah, melestarikan dan bahkan mengembangkan yang dipadatkan dalam bahasa simbol-simbol tertentu. Kreativitasnya manusia sebagai subyek dalam menciptakan dan mengembangkan simbol-simbol oleh Cassirer, manusia dijuluki sebagai animal symbolicum[10]. Melalui simbol inilah manusia dapat mengkomunikasikan kebudayaannya yang di dalmnya terdapat seni rupa

Tidak mudah kita mendiskripsikan, menjelaskan, menganalisis seni rupa terutama untuk mencaritahui nilai instrinsik yang melekat. Bagaimana nilai ada dalam karya cipta, dan bagaimana pula bisa diungkapkan, bisakah dilakukan dengan penelitian yang berbasis kebudayaan?

E. Penelitian seni rupa dalam bingkai kebudayaan

Bagaimana meneliti seni rupa?. Dalam perspektif kebudayaan seni rupa bisa ditempatkan sebagai fokus kajian memiliki tiga ranah wujud. Pertama ia bisa dikaji keberadaannya sebagai wujud suatu ide, kedua posisi seni bisa dikaji dari sistem perwujudannya, ia merupakan sistem sosial. Ketiga seni sebagai bentuk. Kedudukan masing-masing bisa dianalisis terpisah, namun bisa dikembangkan sebagai model untuk menjelaskan realitas seni rupa secara integral.

Seni rupa bisa dianalisis sebagai bentuk tata pikir/ ide perupanya atau masyarakat yang diwakilinya. Keberadaan ide memang abstrak, tidak tampak ada di lokasi kepala, harus dimunculkan dengan suatu perantara, sehingga dapat dipahami maksud perupanya. Peneliti tidak melihat dari sisi wujud, melainkan pesan di balik wujudnya. Seni rupa bisa dikaji pula dari tata lakunya. Bagaimana proses mewujudkan karya yang terangkai dalam proses, berpola dan khas. Dalam tataran ini sering pula melibatkan pihak lain, sehingga memungkinkan interaksi antar personal, karenanya ia merupakan sistem sosial. Pada tataran ini lebih empiris, tampak pada cara bertindak, membuat sesuatu meskipun kualitas dari waktu ke waktu tidak sama namun ada pola, keteraturan, dan ketertataan. Masyarakat seni tertentu seperti masyarakat batik, masyarakat pengrajin topeng dst bisa dijadikan lahan situasi sosial dalam ranah seni rupa sebagai tata laku. Seni rupa juga bisa dikaji dari aspek bentuk. Pada tataran bentuk sifatnya paling kongkrit, ia tersusun oleh struktur seperti warna, garis, bidang, tektur, nilai dan kesatuan secara fisik. Seni rupa dalam konteks ini adalah wujud, bentuk yang kasad mata bersifat relatif tetap.

Pokok kajian seni rupa bisa pula dikaji secara integral antara ide, perilaku membuat karya dan bentuk karya merupakan satu kesatuan. Cara menganalisis bisa dari tata pikir yang bersifat abstrak ke kongkrit, atau sebaliknya dari yang besifat kongkrit ke abstrak. Suatu karya seni lukis, patung, kriya baik individu maupun karya kolektif sangat potensial dianalisis secara terpisah/ struktural maupun integral.

Perlu dipahami bahwa tata pikir dan tata kelakukan (cara mewujudkan) karya seni kolektif setiap etnis, dan bahkan setiap individu (seni modern) memiliki jalan, cara dan gaya tersendiri. Keberagamaan ekpresi itu memiliki polanya yang khas. Tidak bisa dipaksakan harus sama misalnya antara pola ekpresi seni gerabah di desa Melikan Bayat dengan teknik putar miring dengan ekpresi seni gerabah di desa Dolon yang pola putarnya datar, meskipun keduanya sama di desa Bayat. Dalam hal motif hias batik Sragen dan Bayat walaupun sama–sama bukan dari keraton, namun gaya, motif hias dan pilihan warnanya masing-masing dilandasi oleh latar sosial budayanya. Dalam satu cabang seni rupa pada satu kesatuan desa saja mencerminkan perbedaan, apalagi jika dalam cabang yang berbeda dalam desa yang keberagaman, etnis yang tidak sama tentu akan lain, beragam.

Fenomena ini merupakan fakta budaya. Keberagaman adalah alamiah, ia bukan semata-mata sebuah jumlah-hitungan namun bersifat nilai, kualitatif, dan ekologis saling membentuk antara seni dan lingkungannya. Ia tidak mengingkari sifat-sifat lingkungannya tetapi menyatukan. Berbeda dengan karya seni rupa non kolektif, barangkali keberagaman itu terletak pada individualitas perupanya. Meskipun demikian betapapun ia mengasingkan dari lingkungannya agar bisa melahirkan karya yang nilai individualitasnya tinggi, namun tidak akan bisa melepaskan pengaruh lingkungan.

F. Teknik menggali sumber-sumber data

Sekali lagi wujud karya seni rupa adalah bentuk, ibaratnya bahasa ia sebuah teks, ia harus dipahami, dibaca sesuai dengan konteks. Seni rupa memiliki nilai yang tidak saja melekat pada benda melainkan pada pikiran pembuatnya atau masyarakatnya. Apabila ia representasi masyarakat maka ia mewakili pikiran masyarakat. Persoalan seni tidak bisa dipisah semena-mena melainkan kontekstual. Ibaratnya dua sisi dalam satu mata uang, sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain

Menggali data dapat menelusuri ke berbagai sumber seperti informan, tempat dan peristiwa, dokumen/arsip, berbagai karya/artefak. Informan adalah orang yang paham mengenai informasi yang akan dikaji. Banyak pengetahuan seni rupa tersimpan di kepala pemilik kebudayaan namun harus dikongkritkan, digali dan diungkapkan dengan suatu teknik tertentu. Tempat merupakan wadah penting terjadinya proses berkesenian. Tempat, kegiatan dan pelaku, merupakan unsur relasi dalam pembentukan peristiwa, seperti peristiwa berkesenian (rupa). Proses dalam peristiwa seni rupa dapat dicermati, ditata, diklasifikasi, dikonstruksi menjadi pengetahuan. Sumber lain yang dapat digali adalah dokumen maupun arsip.

Dalam menggali informasi, kebenaran bukan terletak berapa banyak orang yang ditanya, tetapi siapa orang yang ditanya, sudahkan tepat menggambarkan kualifikasinya sebagai informan. Kebenaran kualitatif bukan bersifat seragam atau populatif generalisasi namun kasusistis. Penelitian karya seni rupa dapat memilih informan yang tepat, bukan soal jumlah tetapi kualitas informan yang menguasai mengenai masalah yang akan diteliti. Satu orang saja apabila mumpuni sebagai orang yang akan memberikan keterangan yang sahih, mengapa harus bertanya kepada banyak orang yang belum tentu sebanyak orang tersebut mampu memberikan penjelasan sebagaimana diinginkan.

Kebenaran dapat dipahami dengan teknik pengamatan, terutama yang sifatnya melibatkan peneliti. Keseringan mengamati suatu gejala dan proses dapat membantu menghayati fenomena[11]. Fenomena lapangan yang perlu diamati adalah personal, tempat, dan aktivitas yang dilakukan, relasi tersebut namanya peristiwa. Peristiwa bermacam-macam ada peristiwa membuat topeng, membuat batik dsb. Dalam peristiwa ada proses, pola sikap dan tindakan dapat diamati. Setiap masyarakat memiliki pola dan cara sendiri dalam mewujudkan suatu karya seni rupa. Untuk membantu keterbatasan indera kita untuk melakukan pengamatan dalam waktu relatif terbatas, dapat menggunakan alat bantu kamera, video amupun hendicam.

Upaya menelusuri lebih mendalam mengenai hal yang tidak bisa diamati dapat digali melalui wawancara. Masalah cara pandang, gagasan, persepsi hanya dapat ditelusuri melalui wawancara mendalam. Wawancara yang baik adalah dengan tidak tersruktur, tetapi yang informal, bebas namun memfokus pada permasalahan[12]. Hal ini mampu mengorek kebenaran secara valid. Bukan formal tetapi substansial. Wawancara dengan tokoh adat, warga masyarakat pemilik seni tidak harus dibuat takut apalagi dengan kesan sok ilmiah, tetapi bisa membaur, mengobrol layaknya sahabat yang setara status sosialnya. Teknik menjaring informasi secara lengkap dapat dibantu dengan alat perekam suara, sehingga dapat diputar ulang jika ingin mengecek kebenaran informasinya.

Dokumen/arsis dapat dianalisis isinya. Data ini sudah ada tinggal mengolah seperti foto, tulisan, bahan dan alat yang terkait dapat dijadikan kelengkapan. Untuk melengkapi informasi/ data dapat digali dari data tulisan, foto, surat yang berkaitan dapat digunakan sebagai tmbahan. Data lainnya yang berupa karya seni dapat dianalisis struktur bentuknya seperti warna, bidang, garis, tekture dan media yang dipakai.

Semua sumber daya yang digali di temukan dalam masyarakat. Masyarakat adalah layaknya laboratorium untuk menguji ”kebenaran” yang di dalamnya lengkap dengan guru-guru yang siap membelajarkan kita.

G. Masyarakat: Tempat bergurunya peneliti

Peneliti sebagai orang luar (outer) tdak sama dengan orang dalam (inter). Keberadaan orang luar masuk menjadi ”orang dalam”, dalam rangka ingin memahami apa yang telah menjadi bagian dari kebiasaan ”orang dalam”. Caranya melibatkan langsung ke lapangan. Harapannya bisa melihat, melakukan, menghayati dan secara langsung terlibat dalam kegiatan yang diamati meskipun tidak sepenuhnya[13]. Dengan demikian kemudian paham betul apa yang akan ditulis, sehingga hasilnya merupakan potret yang mendalam mengenai seni rupa dan masyarakatnya.

Peneliti adalah orang yang belum tahu, ingin tahu dan melakukan untuk menjadi tahu. Bukan sebaliknya seolah tahu, padahal tidak tahu dan yang repot tidak mau tahu apa sebenarnya yang diketahui untuk diuji sebagai pengathuan. Satu hal prinsip sebaiknya peneliti berusaha mencari kebenaran dari sisi masyarakat pemilik kebudayaan (seni rupa). Maka dalam menghadirkan kebenaran tidak didominasi kekuasaan sang peneliti. Peneliti tidak berwenang menghakimi berbagai nilai menurut cara pandangnya (etik). Peneliti bukanlah seorang ahli dan penentu kebenaran, peneliti hanyalah mengumpulkan, menyusun data dalam batas metodologis. Secara substansi “kebenaran” yang dikonstruksi harus diklarifikasi dengan masyarakat setempat sebagai informan.

Kebenaran yang sahih/valid terletak pada realitas yang di legitimasi informan. Pemilik kebenaran lokal berwenang mengklairifikasi atas temuan peneliti yang ditulis. Bisa jadi apa yang disajikana adalah analisis peneliti yang dipengaruhi teori-teori yang mungkin sesuai, atau sebaliknya yang tidak sesuai dengan masalah yang diteliti. Dengan demikian informan adalah sebagai guru bagi peneliti, bukan sebaliknya peneliti yang menggurui informan.

Penulis hanya mengumpulkan informasi, data, secara metodologis kemudian disusun dan dianalisis selanjutnya dilaporkan agar direspon masyarakat yang diteliti. Peran peneliti hanyalah menempatkan kebenaran yang diposisikan pada proporsinya, yaitu atas dasar pemiliknya. Kendatipun demikian secara etik peneliti bisa menganalisis, mengajukan tafsiran atas data dan membuat suatu tarikan simpulan. Kebenaran atas klaim peneliti ini adalah bersifat etik. Berbeda dengan kebenaran yang ditempatkan pada pihak atau masyarakat yang diteliti, yang kedua ini kebenaran yang bersifat emik[14]

H. Peneliti sebagai instrumen analisis

Penelitian berbasis kebudayaan yang multikultur bukan terletak pada alat teknologi seperti kalkulator, computer sebagai pengolah data. Atau angket dengan optionnya yang akan mempengaruhi pola pandang. Alat hanyalah sarana sedangkan kecanggihan dan akurasi data terletak pada kekuatan peneliti. Ia memiliki indera untuk bisa memawas, menganalisis, menilai yang didasari oleh kepekaan dan kekuatan kemampuan dalam mencermati fenomena. Seorang peneliti dituntut selain memiliki ketrampilan lapangan (naluri), ada usaha ”menjadi”, dan memiliki pengetahuan luas serta niat yang konsisten. Meskipun demikian peneliti bukanlah tujuan tetapi sebagai instrumen agar bisa mencari tahu, mengolah dan menulis suatu kenyataan agar mendekati fakta adanya (valid).

Peneliti memiliki peluang mengekplorasi data dalam ruang dan waktu yang leluasa sehingga memungkinkan diperoleh informasi yang akurat. Termasuk dalam memilih informan yang tepat sangat membantu mengungkapkan ”kebenaran” yang kompleks. Keleluasaan peneliti mencaritahu kebenaran bukan tanpa syarat, sebab proses mencaritahu dan hasilnya tidak terlepas dari proses seleksi, proses uji, proses analisis yang sangat dipengaruhi oleh kepekaan indera. Bagaimana kepekaan kemampuan memawas seni rupa sebagai bagian kebudayaan secara menyeluruh, dibentuk melalui kebiasaan ke lapangan melibatkan diri, mengalami, menghayati sehingga sampai pada bagian dirinya.

Kekuatan peneliti sebagai alat mampu dioperasionalkan dalam mengungkapkan hal yang tidak jelas menjadi jelas, hal yang seolah tidak berhubungan menjadi jelas kaitannya, hal mendasar yang tampaknya tidak berfungsi tetapi berperan penting. Kekuatan peneliti sebagai alat akan mampu mengatasi setiap persoalan yang ada. Bagaimana kerumitan, kerahasiaan, ketidakterjangkauan menjadi terbuka, lentur dan mampu mengungkap. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas kebenaran menunjukkan tingkatan tertentu. Kedalaman analisis sangat ditentukan oleh ketajaman penelitinya dalam mengurai dan menjelaskan. Ini artinya setiap peneliti membawa kekuatan yang tidak sama apalagi seragam. Sejumlah peneliti cenderung memiliki multitafsir sesuai kedalaman masing-masing.

Alat mencerminkan tingkatan kualitas dari paling tinggi sampai pada tingkat biasa atau rendah. Apakah kemudian hasil penafsiran yang berbeda dalam kacamata penelitian disalahkan?. Tidaklah demikian maksudnya, persoalan perbedaan adalah sama benarnya, hanya kedalamannya saja yang tingkatannya lain. Tetapi bisa jadi perspektif atau cara pandang masing-masing beranjak dari landasan yang tidak sama.

Kalau begitu, bukankah multitafsir meresahkan peneliti lain dalam konteks mencari kebenaran, sebab hasilnya berbeda-beda? Kelompok ilmuwan yang telah mapan melihat kebenaran penelitian bukanlah satu yang mutlak. Ia hanyalah pendekatan, cara melihat dan memecahkan masalah berdasarkan ruang lingkup teori yang dijadikan sarana pembimbing. Ia sebagai alat untuk memawas fenomena, realita. Perspektif multi pandang sangat potensial menghasilkan kajian beragam. Nuansa kekayaan yang harus direspon sebagai referensi, wacana diskusi, perdebatan yang berkelanjutan sehingga proses ada dan inilah dinamika. Multikultural adalah refleksi dinamika atas anekaragam fenomena termasuk cara pandang, dan apreasiasi atas akibat cara pandang. Karena itu obyektivitas tersusun atas subyektivtas-subyektivitas. Lalu bagaimana dengan teori-teori yang sudah sahih, haruskan diikuti, ditinggalkan atau bagaimana?

I. Model teori: penuntun atau penentu ?

Penelitian dalam perspektif kebudayaan bersifat empirik bukan reasoning. Data seni wayang beber, batik klasik, tenun lurik merupakan topik kajian yang bisa ditelusri secara holistik, tidak sekedar visual seperti proses perwujudannya, struktur rupa dan kesatuan bentuk, tetapi bisa dikaji nilai instrinsik seperti nilai simbolisnya, fungsi dan makna, naupun nilai kearifan lainnya

Dalam proses menyusun simpulan atas fenomena seni rupa, tidak bersifat hipotesis testing yang alurnya deduktif, namun lebih merupakan sintesis konstruksi induktif, sehingga ia sebagai model of dari masyarakat. Teori-teori atau kajian yang sudah ada bukanlah diuji, dikuatkan namun hanyalah pentuntun relatif, ibaratnya sebagai tongkat untuk membantu kita bisa mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Suatu saat tongkat bisa jadi tidak dipakai karena tidak relevan lagi, dan mungkin pula hanya digunakan saat perlu saja, ia bukanlah penentu.

Peneliti bisa menggali, menjelajahi dan menyusun temuan. Informasi yang diperoleh sangat mungkin banyak, potensial dijadikan bahan analisis untuk menggambarkan fenomena kesenirupaan secara keseluruhan, tidak saja struktur luarnya yang tampak namun juga struktur dalamnya. Dalam soal ini, ia bisa mengkritisi, dan bahkan merobohkan sebuah teori yang selama ini dinilai kokoh. Pada sisi lain memungkinkan dengan mengkolaborasi atau melengkapi atas temuan di lapangan yang memang kenyataannya teori itu telah usang, perlu direvisi.

Hasil penelitian bukanlah klaim mutlak, bukanlah segalanya tetapi alternatif untuk memawas dalam perspektif tertentu. Setiap wawasan tentu terdapat kelemahan, baik secara metodologis maupun subtantif. Maka fakta kebudayaan yang di dalamnya terdapat keragaman bisa menjadi inspirasi seorang peneliti seni rupa dalam menanalisis suatu fenomena seni. Dari aspek proses dan produknya secara realistik-empiris bukan bersifat mono (tunggal) tetapi multi (pural), dari segi nilai bukanlah kuantitatif tetapi kualitatif, dari sisi bentuknya tidak sekedar struktur tetapi ia memiliki isi, bermakna dsb. Sudah barang tentu penelitian seni rupa bukanlah pendekatan yang hard/ ketat, tetapi sangat terbuka bahkan perlu imajinasi dengan konteks yang berbeda untuk menghadirkan kekayaan-kekayaan dalam penafsiran[15]

J. Simpulan

Kemajuan dunia seni rupa, tidak bisa lepas dari sumbangan para pengkaji dan pencipta seni rupa. Para teoritisi ataupun pengkaji dan juga praktisi atau perupa memiliki peran penting dalam membangun epistimologi kesenirupaan kita. Budaya meneliti bidang seni rupa akan membuka cakrawala baru dalam menguatkan bangunan metodologi seni rupa yang kokoh, terutama dalam perspektif Indonesia. Keberlangsungan peristiwa ini menjadi jembatan emas untuk membuka peluang lebih luas bagi peningkatan peran pengkaji dan pencipta dalam mendinamisasikan dunia seni rupa secara menyeluruh, bukan saja soal keilmuannya, tetapi juga kesenimanannya dan pula apresiasinya dari segala lapisan masyarakat. Upaya memperkaya kasanah realitas nilai dari sisi kajian dapat dilakukan dengan pendekatan kebudayaan yang lentur, yang dimungkinkan akomodatif dalam menangkap berbagai kemungkinan fakta empiris, baik yang melekat pada karya, maupun yang berada pada pikiran perupanya, dan bahkan dalam lingkungan masyarakat sosial dan budayanya. Dengan demikian penelitian seni rupa dalam perspektif kebudayaan merupakan penegasan atas kemajemukan suatu nilai yang sekarang sedang direvitalisasi konstruksinya.

K. Daftar Pustaka

Abdullah, I. 2007. Konstruksi dan Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. h 26

Agar, M.H. 1980. The Profetional Stranger : An Informal Introduction to Ethnography. New York: Academic Press. h. 3

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2002. "Tekstual dan Kontekstual Seni dalam Kajian Antropologi Budaya". Makalah Diseminarkan pada Seminar International Metodologi Penelitian Seni Pertunjukkan Indonesia. Surakarta STSI 3-4 Juli.

Ambroise, Y. 2000. "Makna Nilai" dalam Pendidikan Nilai. (Sastrapratedja ed.). Jakarta: Gramedia. .h. 20

Boas, F. 1955. Primitive Art. New York: Dover Publications. h 1

Cassirer, E. 1987. Manusia dan Kebudayaan (Sebuah Essay tentang Manusia). Terjemahan Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia. h.41

Dillistone, F.W. 2002. Daya Kekuatan Simbol terjemahan Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius. h. 28

Firth, R. 1992. “Art and Anthropology”. Dalam Anthropology Art and Aesthetics. Coot, J. and Shelton, A. (ed). New York: Oxford University Press. h.16

Pelto, P.J., Pelto, G.H. 1978. The Anthroplogical Research: Structure of Inquiry (terjemahan). Selangor: Dewan Pusat Bahasa. H. 77

Sastrapratedja. 2000. "Pendidikan Nilai". dalam Pendidikan Nilai. (Sastrapratedja ed.). Jakarta: Gramedia. h. 3

Simatupang, L.L. 2006. Jagad Seni: Refleksi Kemanusiaan. Makalah Worshorp tentang Tradisi Lisan pada tanggal 6 September 2006 di Yogyakarta.

Spradley, J.P. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winstons

Spradley 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winstons

van Puersen. 1990. Fakta, Nilai, Peristiwa. Diterjemahkan oleh: A. Sonny Keraf. Jakarta: Gramedia. h 67


L. Riwayat Penulis

Slamet Subiyantoro. Lahir Klaten, 21-05-1965. Gol IVc, Pendidikan lulus D3 Seni Rupa & Kerajinan IKIP Yogyakarta (1987), S1 Seni Rupa & Kerajinan IKIP Yogyakarta (1989), S2 Antropologi Seni UI Jakarta (1998), S3 Antroplogi Budaya UGM Yogyakarta (2009). Pengalaman sebagai reviewer penelitian (LPPM UNS, Fak Sastra UNS, Dikti, ISI Surakarta), Pengelola jurnal ilmiah PBS FKIP (2001-2002; 2009-sekarang), Jurnal Cakrawisata LPPM UNS (1998-sekarang). Peneliti PUSPARI LPPM UNS (1998-2006), peneliti PPLH LPPM UNS (2006-sekarang). Penelitian yang sudah dikerjakan 73 judul meliputi penelitian kompetetif: dosen muda, fundamental, hibah bersaing, Menristek dan LIPI maupun kerjasama antar instansi dan dana internal UNS. Artikel yang ditulis 30 judul, 11 judul di antaranya dimuat pada jurnal terakreditasi. Beberapa artikel dimuat pada jurnal Paedagogi UNS, Dwijawarta UNS, SENI ISI Yogyakarta, Dikti, ISI Gelar Surakarta, ISI Dewa Ruci Surakarta, Humaniora UMS, Humaniora UGM, Cakrawisata LPPM UNS, Spektrum PBS, Varidika FKIP UMS, Ilmu Sosial UMS, Seni Rupa UNIMED Medan. Buku yang ditulis Filsafat Seni (2005) Revitalisasi Wayang Orang (2006), Antropologi Seni (2007) dan Seminar (2008)


[0] Makalah Pembanding Seminar Nasional Penelitian Seni Rupa dan Multikultural UNY 28 Oktober 2009

[1] Staf pengajar Prodi Seni Rupa FKIP UNS Surakarta

[2] Boas, F. 1955. Primitive Art. New York: Dover Publications. h 1

[3] Simatupang, L.L. 2006. Jagad Seni: Refleksi Kemanusiaan. Makalah Worshorp tentang Tradisi Lisan pada tanggal 6 September 2006 di Yogyakarta.

[4] Firth, R. 1992. “Art and Anthropology”. Dalam Anthropology Art and Aesthetics. Coot, J. and Shelton, A. (ed). New York: Oxford University Press. h.16

[5] van Puersen. 1990. Fakta, Nilai, Peristiwa. Diterjemahkan oleh: A. Sonny Keraf. Jakarta: Gramedia. h 67

[6] Dillistone, F.W. 2002. Daya Kekuatan Simbol terjemahan Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius. h. 28

[7] Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2002. "Tekstual dan Kontekstual Seni dalam Kajian Antropologi Budaya". Makalah Diseminarkan pada Seminar International Metodologi Penelitian Seni Pertunjukkan Indonesia. Surakarta STSI 3-4 Juli.

[8] Sastrapratedja. 2000. "Pendidikan Nilai". dalam Pendidikan Nilai. (Sastrapratedja ed.). Jakarta: Gramedia. h. 3

[9] Ambroise, Y. 2000. "Makna Nilai" dalam Pendidikan Nilai. (Sastrapratedja ed.). Jakarta: Gramedia. .h. 20

[10] Cassirer, E. 1987. Manusia dan Kebudayaan (Sebuah Essay tentang Manusia). Terjemahan Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia. h.41

[11] Spradley 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winstons

[12] Spradley, J.P. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winstons

[13] Agar, M.H. 1980. The Profetional Stranger : An Informal Introduction to Ethnography. New York: Academic Press. h. 3

[14] Pelto, P.J., Pelto, G.H. 1978. The Anthroplogical Research: Structure of Inquiry (terjemahan). Selangor: Dewan Pusat Bahasa. H. 77

[15] Abdullah, I. 2007. Konstruksi dan Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. h 26