Sabtu, 21 November 2009

Penelitian Seni Rupa

PENELITIAN SENI RUPA:

MENCARITAHU REALITAS NILAI DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN[0]

Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si.[1]

A. Pengantar

Memperbincangkan seni rupa dalam ranah fungsi rupanya tidak lagi relevan di sini, apakah itu masuk golongan seni murni atau golongan seni terapan. Keduanya sebenarnya bisa saling dan silang fungsi, pure atau apllied. Beda itu hanya terletak pada konstruksi politis, persepsi. Saya tidak akan mempermasalahkan klaim atas kedua cabang seni rupa murni atau kriya. Saya menempatkan seni rupa pada umumnya. Menurut hemat saya seni rupa, ia sebuah karya seni, kehadirannya melalui pelibatan aspek motorik perupa, emosional dan juga intelektual. Ia memesankan nilai, individu atau kelompok. Nilai apa, itulah yang perlu dikaji, diteliti untuk mencari tahu realitas. Di mana letak realitas itulah sesungguhnya yang harus dicaritahu melalui penelitian budaya. Proses mencari realitas atau kebenaran nilai bukan soal matematika. Bukan suatu hal tabu untuk mengatakan hal unik, aneh apalagi ganjil. Tetapi jika itu terjadi apa adanya, empiris, kenapa tidak? Maka permasalahan yang akan dilihat di sini adalah bagaimana kita memaknai sebuah realitas seni rupa dalam pemahaman budaya melalui kegiatan penelitian.

B. Seni, perupa, kebudayaan dan masyarakat

Karya seni rupa dengan berbagai cabangnya adalah produk manusia. Cara pandang, perilaku dan bentuk karya yang dihasilkan adalah hadir di tengah masyarakat melalui kebudayaan[2]. Seni apapun, ia bukan tumbuh sendiri di luar konteks lingkungan yang telah melingkupinya, mempengaruhinya dan atau membentuknya. Maka tidak berlebihan pernyataan yang menyebutkan bahwa, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan. Tidak ada kebudayaan yang tumbuh tanpa masyarakat. Seni, seni rupa cabang kesenian adalah salah satu bentuk unsur kebudayaan. Dengan demikian masyarakat, kebudayaan, manusia dan seni adalah bagian integral yang bertalian satu sama lain.

Untuk memahami seni (rupa) tidak cukup hanya sebatas bentuk, melainkan harus menjangkau isi hinggá melibatkan ke empat unsur analisis seperti tersebut di atas. Identitas masyarakat sangat dipengaruhi sistem nilai sosial budaya, yang mewujud dari cara pandang, cara memahami, dan menilai sesuatu, termasuk di dalamnya mengenal seni. Seni dengan demikian adalah bentuk aktualisiasi atas sistem pengetahuan yang dimiliki. Masyarakat tradisional seperti lingkungan desa pola budayanya relatif homogin, berbeda dengan masyarakat kompleks seperti kota yang heterogen. Kebudayaan masyarakat sederhana relatif seragam, sistim kontrol kuat, bersifat kolektif. Masyarakat modern keberadaanya kompleks, sistim kontrol longgar, bersifat individual, sehingga perwujudan kebudayannya realtif bervariasi.

Kiranya dapat dipahami bahwa seni rupa bukan sekedar struktur rupa, tetapi merupakan sarana komunikasi warga masyarakat dalam menyampaikan sistem nilai yang diyakini. Perupa adalah bagian masyarakat yang mewakili nilai keindahannya. Dengan demikian seni rupa tidak lain adalah representasi kolektif, tradisi. Dalam struktur masyarakat modern nilai individu lebih kuat, akibatnya ide, perilaku dan ekpresi seni termasuk seni rupa cenderung bersifat pernyatan pribadi.

Latar lingkungan fisik, alam dan lingkungan sosial seperti sistem keyakinan, norma, nilai-nilai tidak terlepas begitu saja, ia menjadi frame warga yang pernah menjadi bagiannya. Lingkungan keluarga, peer group, tetangga, sekolah, masyarakat pekerjaan merupakan latar yang memiliki sumbangan dalam membentuk individu. Seperti apa gaya individu berekspresi, bentuk, dan tema maupun ide yang mewujud dalam tampilan seni rupa sangat dipengaruhi oleh lingkungannya.

Apabila masyarakat itu beragam, setiap individu dalam masyarakat juga merepresentasikan variasi. Jika seni adalah cabang dari kebudayaan, sudah barang tentu kebudayaan induknya kesenian tersebut dalam wadahnya di masyarakat. Setiap desa, wilayah tertentu, dan juga setiap etnik memiliki latar belakang sejarah, kearifan nilai-nilai lokal, sistim sosial budaya yang diwariskan generasi tokoh secara turun temurun. Masyarakat tidak dapat dipisah dengan lingkungan fisik, dan lingkungan sosial budaya, keberadaannya saling mempengaruhi satu sama lain.

Manusia dibimbing oleh nilai, pada saat sama manusia juga mengembangkan nilai. Setiap wilayah masyarakat di situ pula terdapat lingkungan sosial sebagaimana tercermin pada hubungan antar individu, dan lingkungan budaya yang melekat pada keyakinan masyarakat tersebut. Maka untuk memahami secara utuh suatu karya seni rupa tidak bisa lain semestinya menempatkan pada posisi sebagai warga masyarakat yang melibatkan diri dalam proses, dan waktu yang cukup panjang. Sistem pengetahuan yang dibangun tidak terpisahkan dengan persepsi terhadap realitas dan cara pandang internal yang erat bertalian dengan nilai-nilai.

C. Tentang realitas dan nilai

Sekali lagi berbicara tentang seni rupa tidak dapat dipisahkan dengan manusia. Bukan saja karena ia sebagai hasil tindakan manusia, tetapi di dalam aspek seni rupa terkandung refleksi tentang relasi manusia dengan manusia, manusia dengan alam lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Melalui seni rupa manusia menunjukkan, mempertanyakan, dan menawarkan berbagai kemungkinan posisi kemanusiannya. Fenomena seni rupa dengan demikian merupakan jagad refleksi kemanusiaan, sebuah dialektika yang tidak pernah berhenti sepanjang masa[3]

Dunia seni rupa diproses oleh dan sekaligus milik manusia. Ia dan peristiwa kesenian dikendalikan oleh aspek cipta, rasa dan karsa itu hanya melekat pada insan manusia bukan hewan atau makhluk lain. Ia adalah pernyataan pengalaman seseorang atau kelompok masyarakat tertentu[4]. Pengalaman rasa (keindahan) yang diekspresikan dalam berbagai bentuk seni rupa merupakan hasil interpretasi atas realitas yang hadir dalam realitas.

Realitas pada dasarnya adalah peristiwa sejarah umat manusia yang penuh dengan nilai. Realitas sepenuhnya terwujud dalam bidang etis, karena itu makna realitas lebih bersifat etis dari pada fisik. Realitas merupakan semacam fenomena misterius di balik fenomena kongkrit sehari-hari. Keberadaan dan interpretasi realitas atas realitas amat tergantung pada persepsi yang terbentuk oleh pengaruh kepekaan nilai estetis, nilai religius dan nilai sosial tentang dunia yang ada[5]

Pewujudan atas realitas yang diekpresikan melalui pelakunya adalah sebuah representasi nilai yang memadat dalam bentuk simbol[6]. Dalam budaya kolektif seperti halnya seni rupa, simbol lebih merupakan relasi atas struktur-struktur yang memuat pesan budaya. Pesan budaya lebih berupa nilai yang harus ditafsirkan maknanya berdasarkan wujud sebagai teks, dan aspek sosial budaya sebagai konteksnya[7]

Mengapa penting dalam menelusuri sebuah nilai dalam seni rupa. Oleh karena nilai adalah sesuatu yang dianggap positif, dihargai, diagungkan, dipelihara, dihormati, membuat orang bangga, bahkan nilai adalah segala-galanya. Konsep nilai merupakan satu dimensi dari seluruh usaha manusia[8]

Aspek nilai juga membantu untuk membedakan apa yang dilakukan, dan apa yang diinginkan, dirasa dan dipikirkan. Tindakan seseorang mencerminkan nilai yang dianut, nilai memberikan arah hidupnya. Orang bertindak berdasarkan nilai yang diyakini dan ini selalu diulang dan menjadi kaidah hidupnya. Semakin kuat nilai yang dipilih semakin kuat pengaruh nilai atas kehidupannya. Singkatnya nilai selalu meresapi dan mempengaruhi segala segi kehidupan manusia. Karena nilai adalah realitas dalam diri seseorang sebagai pendorong yang menjadi pedoman dalam hidupnya[9]

Dengan demikian karya seni rupa tak ubahnya adalah potret nilai perupanya yang ditafsirkan sebagai realitas. Subyektivitas dirinya apakah secara individual ataukah mewakili kolektifnya diwujudkan secara kongkrit dalam struktur bentuk dengan aneka cabangnya. Cara bagaimana mengungkap sebuah nilai dalam setiap karya seni rupa, lazimnya dilakukan dengan kegiatan penelitian (research).

D. Research, ”kebenaran” dan masalah obyektivitas

Dari segi bahasa, sebutan penelitian adalah bentukan dari kata dasar teliti, yang kira-kiranya maksudnya adalah cermat. Secara bebas dapat ditafsirkan penelitian kurang lebih adalah bagaimana kita memawas, melihat sesuatu dengan teliti dan cermat sebelum kita menarik simpulan atau pernyataan. Dalam terminologi asing, penelitian biasa disebut research, dari kata re berulang-ulang dan search mencari tahu. Dengan demikian research lebih merupakan usaha berulang kali untuk mencaritahu sesuatu, maksudnya adalah sesuatu yang perlu diketahui, yakni pengetahuan. Susunan pengetahuan yang sistematis itulah kaum ilmuwan menyebutnya sebagai ilmu.

Apa itu pengetahuan, maksudnya adalah kenyataan atau barangkali realitas? Kenyataan ini ditafsirkan sebagai ”kebenaran”, pertanyannya kebenaran yang mana? Itulah yang sering diperdebatkan. Apakah kebenaran itu obyektif atau subyektif. Dalam paradigma kuantitatif kebenaran adalah bersifat general, tunggal dan bersifat deduktif. Berlawanan dengan perspektif kualitatif, maka kebenaran itu bersifat jamak, kasusistis dan menuju proses induktif.

Suatu gejala, tanda, peristiwa, maupun situasi sering dilihat sebagai suatu fenomena yang juga lalu dikatakan realitas. Tetapi benarkan realitas itu ada pada fenomena tersebut? Itu sangat tergantung pada siapa yang memawas. Artinya bahwa kebenaan itu adalah konstruksi atas fenomena dengan orang yang memawas. Sebagai misal kecantikan tidak bisa digeneralisasi, tentu seorang isteri menurut suaminya dinilai cantik meskipun belum tentu menurut yang lain. Lalu dimana letak obyektivitasnya, kecantikannya atau yang menilainya. Inilah awal dari bias dalam menilai suatu hal atas cara pandang yang sepihak (etnosentris).

Dari mana pengetahuan dibangun? Pengetahuan yang dibangun masyarakat etnik didasarkan pada kenyataan yang sehari-hari dialami. Bukan atas apa yang seharusnya. Ini sangat berbeda dengan pengetahuan reasoning yang meletakkan kebenaran atas dasar logika teoritis. Berbeda dengan pengetahuan empiris, maka bukan penalaran yang dikemas dalam sebutan ilmiah, melainkan kenyataan di lapangan apa adanya. Sering terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan, itulah gambaran kebenaran reasoning, seharusnya dengan kebenaran empiris, senyatanya. Kita berada dalam wilayah mana dalam memawas. Tergantung kita ingin menggunakan kacamata siapa?

Persoalan pengetahuan yang dibenarkan atau ”kebenaran” sesungguhnya bersifat fleksibel, ia korban konstruksi atas kesepakatan, disusun atas asumsi keteraturan, ketertataan lalu diklasifikasi dan disimpulkan, jadilah kebenaran. Karena ia telah diuji maka kebenaran tersebut menjadi suatu teori.

Setiap peneliti adalah punya latar sejarah, kedalaman, penalaman dan kekuatan indera sehingga memiliki pengaruh dalam kemampuan mencermati fenomena. Ini artinya bahwa setiap orang bisa membuat penilaian, menyusunan pengetahuan dan mengkonsruksi obyektivitas. Obyektivitas adalah soal cara pandang. Pemaksaan, penyeragaman, thesis sok tahu atas ketidaktahuannya, menurut cara pandang kualitatif hanyalah akan menyesatkan dirinya sendiri dalam proses mencaritahu.

Seni rupa dalam bingkai kebudayaan dapat ditempatkan sebagai suatu subtansi kajian. Seni rupa hanyalah bagian dari unsur kesenian yang keberadaannya sama dengan kesenian lainnya (seni gerak, bunyi, tulis, rupa, dan campuran kesemuanya ini/ teater).

Kesenianpun harus disadari, keberadaannya tidak terpisahkan sebagai salah satu saja dari unsur kebudayaan. Dimana seni hadir, hendaknya juga harus dilihat keberadaannya, ia bukan sekedar obyek yang terpisah dengan subyeknya (perupa) apalagi dengan latar subyeknya. Dengan demikian seni rupa tidak hanya diposisikan sebagai teks, namun jika ingin dianalisis untuk mencaritahu kenyataan mengenainya secara utuh, secara sosiologis harus ditempatkan pada konteksnya. Ia penuh nilai, makna, bukan kuantitas tetapi kualitas, posisinya ada dalam wilayah kebudayaan.

Kendatipun demikian seni rupa hanyalah obyek, tidak lepas dari peran subyek (perupa), manusia sebagai penguasa dalam proses kreatifnya. Dalam ranah ini secara leluasa subyek bisa menciptakan, membangun, mengubah, melestarikan dan bahkan mengembangkan yang dipadatkan dalam bahasa simbol-simbol tertentu. Kreativitasnya manusia sebagai subyek dalam menciptakan dan mengembangkan simbol-simbol oleh Cassirer, manusia dijuluki sebagai animal symbolicum[10]. Melalui simbol inilah manusia dapat mengkomunikasikan kebudayaannya yang di dalmnya terdapat seni rupa

Tidak mudah kita mendiskripsikan, menjelaskan, menganalisis seni rupa terutama untuk mencaritahui nilai instrinsik yang melekat. Bagaimana nilai ada dalam karya cipta, dan bagaimana pula bisa diungkapkan, bisakah dilakukan dengan penelitian yang berbasis kebudayaan?

E. Penelitian seni rupa dalam bingkai kebudayaan

Bagaimana meneliti seni rupa?. Dalam perspektif kebudayaan seni rupa bisa ditempatkan sebagai fokus kajian memiliki tiga ranah wujud. Pertama ia bisa dikaji keberadaannya sebagai wujud suatu ide, kedua posisi seni bisa dikaji dari sistem perwujudannya, ia merupakan sistem sosial. Ketiga seni sebagai bentuk. Kedudukan masing-masing bisa dianalisis terpisah, namun bisa dikembangkan sebagai model untuk menjelaskan realitas seni rupa secara integral.

Seni rupa bisa dianalisis sebagai bentuk tata pikir/ ide perupanya atau masyarakat yang diwakilinya. Keberadaan ide memang abstrak, tidak tampak ada di lokasi kepala, harus dimunculkan dengan suatu perantara, sehingga dapat dipahami maksud perupanya. Peneliti tidak melihat dari sisi wujud, melainkan pesan di balik wujudnya. Seni rupa bisa dikaji pula dari tata lakunya. Bagaimana proses mewujudkan karya yang terangkai dalam proses, berpola dan khas. Dalam tataran ini sering pula melibatkan pihak lain, sehingga memungkinkan interaksi antar personal, karenanya ia merupakan sistem sosial. Pada tataran ini lebih empiris, tampak pada cara bertindak, membuat sesuatu meskipun kualitas dari waktu ke waktu tidak sama namun ada pola, keteraturan, dan ketertataan. Masyarakat seni tertentu seperti masyarakat batik, masyarakat pengrajin topeng dst bisa dijadikan lahan situasi sosial dalam ranah seni rupa sebagai tata laku. Seni rupa juga bisa dikaji dari aspek bentuk. Pada tataran bentuk sifatnya paling kongkrit, ia tersusun oleh struktur seperti warna, garis, bidang, tektur, nilai dan kesatuan secara fisik. Seni rupa dalam konteks ini adalah wujud, bentuk yang kasad mata bersifat relatif tetap.

Pokok kajian seni rupa bisa pula dikaji secara integral antara ide, perilaku membuat karya dan bentuk karya merupakan satu kesatuan. Cara menganalisis bisa dari tata pikir yang bersifat abstrak ke kongkrit, atau sebaliknya dari yang besifat kongkrit ke abstrak. Suatu karya seni lukis, patung, kriya baik individu maupun karya kolektif sangat potensial dianalisis secara terpisah/ struktural maupun integral.

Perlu dipahami bahwa tata pikir dan tata kelakukan (cara mewujudkan) karya seni kolektif setiap etnis, dan bahkan setiap individu (seni modern) memiliki jalan, cara dan gaya tersendiri. Keberagamaan ekpresi itu memiliki polanya yang khas. Tidak bisa dipaksakan harus sama misalnya antara pola ekpresi seni gerabah di desa Melikan Bayat dengan teknik putar miring dengan ekpresi seni gerabah di desa Dolon yang pola putarnya datar, meskipun keduanya sama di desa Bayat. Dalam hal motif hias batik Sragen dan Bayat walaupun sama–sama bukan dari keraton, namun gaya, motif hias dan pilihan warnanya masing-masing dilandasi oleh latar sosial budayanya. Dalam satu cabang seni rupa pada satu kesatuan desa saja mencerminkan perbedaan, apalagi jika dalam cabang yang berbeda dalam desa yang keberagaman, etnis yang tidak sama tentu akan lain, beragam.

Fenomena ini merupakan fakta budaya. Keberagaman adalah alamiah, ia bukan semata-mata sebuah jumlah-hitungan namun bersifat nilai, kualitatif, dan ekologis saling membentuk antara seni dan lingkungannya. Ia tidak mengingkari sifat-sifat lingkungannya tetapi menyatukan. Berbeda dengan karya seni rupa non kolektif, barangkali keberagaman itu terletak pada individualitas perupanya. Meskipun demikian betapapun ia mengasingkan dari lingkungannya agar bisa melahirkan karya yang nilai individualitasnya tinggi, namun tidak akan bisa melepaskan pengaruh lingkungan.

F. Teknik menggali sumber-sumber data

Sekali lagi wujud karya seni rupa adalah bentuk, ibaratnya bahasa ia sebuah teks, ia harus dipahami, dibaca sesuai dengan konteks. Seni rupa memiliki nilai yang tidak saja melekat pada benda melainkan pada pikiran pembuatnya atau masyarakatnya. Apabila ia representasi masyarakat maka ia mewakili pikiran masyarakat. Persoalan seni tidak bisa dipisah semena-mena melainkan kontekstual. Ibaratnya dua sisi dalam satu mata uang, sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain

Menggali data dapat menelusuri ke berbagai sumber seperti informan, tempat dan peristiwa, dokumen/arsip, berbagai karya/artefak. Informan adalah orang yang paham mengenai informasi yang akan dikaji. Banyak pengetahuan seni rupa tersimpan di kepala pemilik kebudayaan namun harus dikongkritkan, digali dan diungkapkan dengan suatu teknik tertentu. Tempat merupakan wadah penting terjadinya proses berkesenian. Tempat, kegiatan dan pelaku, merupakan unsur relasi dalam pembentukan peristiwa, seperti peristiwa berkesenian (rupa). Proses dalam peristiwa seni rupa dapat dicermati, ditata, diklasifikasi, dikonstruksi menjadi pengetahuan. Sumber lain yang dapat digali adalah dokumen maupun arsip.

Dalam menggali informasi, kebenaran bukan terletak berapa banyak orang yang ditanya, tetapi siapa orang yang ditanya, sudahkan tepat menggambarkan kualifikasinya sebagai informan. Kebenaran kualitatif bukan bersifat seragam atau populatif generalisasi namun kasusistis. Penelitian karya seni rupa dapat memilih informan yang tepat, bukan soal jumlah tetapi kualitas informan yang menguasai mengenai masalah yang akan diteliti. Satu orang saja apabila mumpuni sebagai orang yang akan memberikan keterangan yang sahih, mengapa harus bertanya kepada banyak orang yang belum tentu sebanyak orang tersebut mampu memberikan penjelasan sebagaimana diinginkan.

Kebenaran dapat dipahami dengan teknik pengamatan, terutama yang sifatnya melibatkan peneliti. Keseringan mengamati suatu gejala dan proses dapat membantu menghayati fenomena[11]. Fenomena lapangan yang perlu diamati adalah personal, tempat, dan aktivitas yang dilakukan, relasi tersebut namanya peristiwa. Peristiwa bermacam-macam ada peristiwa membuat topeng, membuat batik dsb. Dalam peristiwa ada proses, pola sikap dan tindakan dapat diamati. Setiap masyarakat memiliki pola dan cara sendiri dalam mewujudkan suatu karya seni rupa. Untuk membantu keterbatasan indera kita untuk melakukan pengamatan dalam waktu relatif terbatas, dapat menggunakan alat bantu kamera, video amupun hendicam.

Upaya menelusuri lebih mendalam mengenai hal yang tidak bisa diamati dapat digali melalui wawancara. Masalah cara pandang, gagasan, persepsi hanya dapat ditelusuri melalui wawancara mendalam. Wawancara yang baik adalah dengan tidak tersruktur, tetapi yang informal, bebas namun memfokus pada permasalahan[12]. Hal ini mampu mengorek kebenaran secara valid. Bukan formal tetapi substansial. Wawancara dengan tokoh adat, warga masyarakat pemilik seni tidak harus dibuat takut apalagi dengan kesan sok ilmiah, tetapi bisa membaur, mengobrol layaknya sahabat yang setara status sosialnya. Teknik menjaring informasi secara lengkap dapat dibantu dengan alat perekam suara, sehingga dapat diputar ulang jika ingin mengecek kebenaran informasinya.

Dokumen/arsis dapat dianalisis isinya. Data ini sudah ada tinggal mengolah seperti foto, tulisan, bahan dan alat yang terkait dapat dijadikan kelengkapan. Untuk melengkapi informasi/ data dapat digali dari data tulisan, foto, surat yang berkaitan dapat digunakan sebagai tmbahan. Data lainnya yang berupa karya seni dapat dianalisis struktur bentuknya seperti warna, bidang, garis, tekture dan media yang dipakai.

Semua sumber daya yang digali di temukan dalam masyarakat. Masyarakat adalah layaknya laboratorium untuk menguji ”kebenaran” yang di dalamnya lengkap dengan guru-guru yang siap membelajarkan kita.

G. Masyarakat: Tempat bergurunya peneliti

Peneliti sebagai orang luar (outer) tdak sama dengan orang dalam (inter). Keberadaan orang luar masuk menjadi ”orang dalam”, dalam rangka ingin memahami apa yang telah menjadi bagian dari kebiasaan ”orang dalam”. Caranya melibatkan langsung ke lapangan. Harapannya bisa melihat, melakukan, menghayati dan secara langsung terlibat dalam kegiatan yang diamati meskipun tidak sepenuhnya[13]. Dengan demikian kemudian paham betul apa yang akan ditulis, sehingga hasilnya merupakan potret yang mendalam mengenai seni rupa dan masyarakatnya.

Peneliti adalah orang yang belum tahu, ingin tahu dan melakukan untuk menjadi tahu. Bukan sebaliknya seolah tahu, padahal tidak tahu dan yang repot tidak mau tahu apa sebenarnya yang diketahui untuk diuji sebagai pengathuan. Satu hal prinsip sebaiknya peneliti berusaha mencari kebenaran dari sisi masyarakat pemilik kebudayaan (seni rupa). Maka dalam menghadirkan kebenaran tidak didominasi kekuasaan sang peneliti. Peneliti tidak berwenang menghakimi berbagai nilai menurut cara pandangnya (etik). Peneliti bukanlah seorang ahli dan penentu kebenaran, peneliti hanyalah mengumpulkan, menyusun data dalam batas metodologis. Secara substansi “kebenaran” yang dikonstruksi harus diklarifikasi dengan masyarakat setempat sebagai informan.

Kebenaran yang sahih/valid terletak pada realitas yang di legitimasi informan. Pemilik kebenaran lokal berwenang mengklairifikasi atas temuan peneliti yang ditulis. Bisa jadi apa yang disajikana adalah analisis peneliti yang dipengaruhi teori-teori yang mungkin sesuai, atau sebaliknya yang tidak sesuai dengan masalah yang diteliti. Dengan demikian informan adalah sebagai guru bagi peneliti, bukan sebaliknya peneliti yang menggurui informan.

Penulis hanya mengumpulkan informasi, data, secara metodologis kemudian disusun dan dianalisis selanjutnya dilaporkan agar direspon masyarakat yang diteliti. Peran peneliti hanyalah menempatkan kebenaran yang diposisikan pada proporsinya, yaitu atas dasar pemiliknya. Kendatipun demikian secara etik peneliti bisa menganalisis, mengajukan tafsiran atas data dan membuat suatu tarikan simpulan. Kebenaran atas klaim peneliti ini adalah bersifat etik. Berbeda dengan kebenaran yang ditempatkan pada pihak atau masyarakat yang diteliti, yang kedua ini kebenaran yang bersifat emik[14]

H. Peneliti sebagai instrumen analisis

Penelitian berbasis kebudayaan yang multikultur bukan terletak pada alat teknologi seperti kalkulator, computer sebagai pengolah data. Atau angket dengan optionnya yang akan mempengaruhi pola pandang. Alat hanyalah sarana sedangkan kecanggihan dan akurasi data terletak pada kekuatan peneliti. Ia memiliki indera untuk bisa memawas, menganalisis, menilai yang didasari oleh kepekaan dan kekuatan kemampuan dalam mencermati fenomena. Seorang peneliti dituntut selain memiliki ketrampilan lapangan (naluri), ada usaha ”menjadi”, dan memiliki pengetahuan luas serta niat yang konsisten. Meskipun demikian peneliti bukanlah tujuan tetapi sebagai instrumen agar bisa mencari tahu, mengolah dan menulis suatu kenyataan agar mendekati fakta adanya (valid).

Peneliti memiliki peluang mengekplorasi data dalam ruang dan waktu yang leluasa sehingga memungkinkan diperoleh informasi yang akurat. Termasuk dalam memilih informan yang tepat sangat membantu mengungkapkan ”kebenaran” yang kompleks. Keleluasaan peneliti mencaritahu kebenaran bukan tanpa syarat, sebab proses mencaritahu dan hasilnya tidak terlepas dari proses seleksi, proses uji, proses analisis yang sangat dipengaruhi oleh kepekaan indera. Bagaimana kepekaan kemampuan memawas seni rupa sebagai bagian kebudayaan secara menyeluruh, dibentuk melalui kebiasaan ke lapangan melibatkan diri, mengalami, menghayati sehingga sampai pada bagian dirinya.

Kekuatan peneliti sebagai alat mampu dioperasionalkan dalam mengungkapkan hal yang tidak jelas menjadi jelas, hal yang seolah tidak berhubungan menjadi jelas kaitannya, hal mendasar yang tampaknya tidak berfungsi tetapi berperan penting. Kekuatan peneliti sebagai alat akan mampu mengatasi setiap persoalan yang ada. Bagaimana kerumitan, kerahasiaan, ketidakterjangkauan menjadi terbuka, lentur dan mampu mengungkap. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas kebenaran menunjukkan tingkatan tertentu. Kedalaman analisis sangat ditentukan oleh ketajaman penelitinya dalam mengurai dan menjelaskan. Ini artinya setiap peneliti membawa kekuatan yang tidak sama apalagi seragam. Sejumlah peneliti cenderung memiliki multitafsir sesuai kedalaman masing-masing.

Alat mencerminkan tingkatan kualitas dari paling tinggi sampai pada tingkat biasa atau rendah. Apakah kemudian hasil penafsiran yang berbeda dalam kacamata penelitian disalahkan?. Tidaklah demikian maksudnya, persoalan perbedaan adalah sama benarnya, hanya kedalamannya saja yang tingkatannya lain. Tetapi bisa jadi perspektif atau cara pandang masing-masing beranjak dari landasan yang tidak sama.

Kalau begitu, bukankah multitafsir meresahkan peneliti lain dalam konteks mencari kebenaran, sebab hasilnya berbeda-beda? Kelompok ilmuwan yang telah mapan melihat kebenaran penelitian bukanlah satu yang mutlak. Ia hanyalah pendekatan, cara melihat dan memecahkan masalah berdasarkan ruang lingkup teori yang dijadikan sarana pembimbing. Ia sebagai alat untuk memawas fenomena, realita. Perspektif multi pandang sangat potensial menghasilkan kajian beragam. Nuansa kekayaan yang harus direspon sebagai referensi, wacana diskusi, perdebatan yang berkelanjutan sehingga proses ada dan inilah dinamika. Multikultural adalah refleksi dinamika atas anekaragam fenomena termasuk cara pandang, dan apreasiasi atas akibat cara pandang. Karena itu obyektivitas tersusun atas subyektivtas-subyektivitas. Lalu bagaimana dengan teori-teori yang sudah sahih, haruskan diikuti, ditinggalkan atau bagaimana?

I. Model teori: penuntun atau penentu ?

Penelitian dalam perspektif kebudayaan bersifat empirik bukan reasoning. Data seni wayang beber, batik klasik, tenun lurik merupakan topik kajian yang bisa ditelusri secara holistik, tidak sekedar visual seperti proses perwujudannya, struktur rupa dan kesatuan bentuk, tetapi bisa dikaji nilai instrinsik seperti nilai simbolisnya, fungsi dan makna, naupun nilai kearifan lainnya

Dalam proses menyusun simpulan atas fenomena seni rupa, tidak bersifat hipotesis testing yang alurnya deduktif, namun lebih merupakan sintesis konstruksi induktif, sehingga ia sebagai model of dari masyarakat. Teori-teori atau kajian yang sudah ada bukanlah diuji, dikuatkan namun hanyalah pentuntun relatif, ibaratnya sebagai tongkat untuk membantu kita bisa mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Suatu saat tongkat bisa jadi tidak dipakai karena tidak relevan lagi, dan mungkin pula hanya digunakan saat perlu saja, ia bukanlah penentu.

Peneliti bisa menggali, menjelajahi dan menyusun temuan. Informasi yang diperoleh sangat mungkin banyak, potensial dijadikan bahan analisis untuk menggambarkan fenomena kesenirupaan secara keseluruhan, tidak saja struktur luarnya yang tampak namun juga struktur dalamnya. Dalam soal ini, ia bisa mengkritisi, dan bahkan merobohkan sebuah teori yang selama ini dinilai kokoh. Pada sisi lain memungkinkan dengan mengkolaborasi atau melengkapi atas temuan di lapangan yang memang kenyataannya teori itu telah usang, perlu direvisi.

Hasil penelitian bukanlah klaim mutlak, bukanlah segalanya tetapi alternatif untuk memawas dalam perspektif tertentu. Setiap wawasan tentu terdapat kelemahan, baik secara metodologis maupun subtantif. Maka fakta kebudayaan yang di dalamnya terdapat keragaman bisa menjadi inspirasi seorang peneliti seni rupa dalam menanalisis suatu fenomena seni. Dari aspek proses dan produknya secara realistik-empiris bukan bersifat mono (tunggal) tetapi multi (pural), dari segi nilai bukanlah kuantitatif tetapi kualitatif, dari sisi bentuknya tidak sekedar struktur tetapi ia memiliki isi, bermakna dsb. Sudah barang tentu penelitian seni rupa bukanlah pendekatan yang hard/ ketat, tetapi sangat terbuka bahkan perlu imajinasi dengan konteks yang berbeda untuk menghadirkan kekayaan-kekayaan dalam penafsiran[15]

J. Simpulan

Kemajuan dunia seni rupa, tidak bisa lepas dari sumbangan para pengkaji dan pencipta seni rupa. Para teoritisi ataupun pengkaji dan juga praktisi atau perupa memiliki peran penting dalam membangun epistimologi kesenirupaan kita. Budaya meneliti bidang seni rupa akan membuka cakrawala baru dalam menguatkan bangunan metodologi seni rupa yang kokoh, terutama dalam perspektif Indonesia. Keberlangsungan peristiwa ini menjadi jembatan emas untuk membuka peluang lebih luas bagi peningkatan peran pengkaji dan pencipta dalam mendinamisasikan dunia seni rupa secara menyeluruh, bukan saja soal keilmuannya, tetapi juga kesenimanannya dan pula apresiasinya dari segala lapisan masyarakat. Upaya memperkaya kasanah realitas nilai dari sisi kajian dapat dilakukan dengan pendekatan kebudayaan yang lentur, yang dimungkinkan akomodatif dalam menangkap berbagai kemungkinan fakta empiris, baik yang melekat pada karya, maupun yang berada pada pikiran perupanya, dan bahkan dalam lingkungan masyarakat sosial dan budayanya. Dengan demikian penelitian seni rupa dalam perspektif kebudayaan merupakan penegasan atas kemajemukan suatu nilai yang sekarang sedang direvitalisasi konstruksinya.

K. Daftar Pustaka

Abdullah, I. 2007. Konstruksi dan Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. h 26

Agar, M.H. 1980. The Profetional Stranger : An Informal Introduction to Ethnography. New York: Academic Press. h. 3

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2002. "Tekstual dan Kontekstual Seni dalam Kajian Antropologi Budaya". Makalah Diseminarkan pada Seminar International Metodologi Penelitian Seni Pertunjukkan Indonesia. Surakarta STSI 3-4 Juli.

Ambroise, Y. 2000. "Makna Nilai" dalam Pendidikan Nilai. (Sastrapratedja ed.). Jakarta: Gramedia. .h. 20

Boas, F. 1955. Primitive Art. New York: Dover Publications. h 1

Cassirer, E. 1987. Manusia dan Kebudayaan (Sebuah Essay tentang Manusia). Terjemahan Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia. h.41

Dillistone, F.W. 2002. Daya Kekuatan Simbol terjemahan Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius. h. 28

Firth, R. 1992. “Art and Anthropology”. Dalam Anthropology Art and Aesthetics. Coot, J. and Shelton, A. (ed). New York: Oxford University Press. h.16

Pelto, P.J., Pelto, G.H. 1978. The Anthroplogical Research: Structure of Inquiry (terjemahan). Selangor: Dewan Pusat Bahasa. H. 77

Sastrapratedja. 2000. "Pendidikan Nilai". dalam Pendidikan Nilai. (Sastrapratedja ed.). Jakarta: Gramedia. h. 3

Simatupang, L.L. 2006. Jagad Seni: Refleksi Kemanusiaan. Makalah Worshorp tentang Tradisi Lisan pada tanggal 6 September 2006 di Yogyakarta.

Spradley, J.P. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winstons

Spradley 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winstons

van Puersen. 1990. Fakta, Nilai, Peristiwa. Diterjemahkan oleh: A. Sonny Keraf. Jakarta: Gramedia. h 67


L. Riwayat Penulis

Slamet Subiyantoro. Lahir Klaten, 21-05-1965. Gol IVc, Pendidikan lulus D3 Seni Rupa & Kerajinan IKIP Yogyakarta (1987), S1 Seni Rupa & Kerajinan IKIP Yogyakarta (1989), S2 Antropologi Seni UI Jakarta (1998), S3 Antroplogi Budaya UGM Yogyakarta (2009). Pengalaman sebagai reviewer penelitian (LPPM UNS, Fak Sastra UNS, Dikti, ISI Surakarta), Pengelola jurnal ilmiah PBS FKIP (2001-2002; 2009-sekarang), Jurnal Cakrawisata LPPM UNS (1998-sekarang). Peneliti PUSPARI LPPM UNS (1998-2006), peneliti PPLH LPPM UNS (2006-sekarang). Penelitian yang sudah dikerjakan 73 judul meliputi penelitian kompetetif: dosen muda, fundamental, hibah bersaing, Menristek dan LIPI maupun kerjasama antar instansi dan dana internal UNS. Artikel yang ditulis 30 judul, 11 judul di antaranya dimuat pada jurnal terakreditasi. Beberapa artikel dimuat pada jurnal Paedagogi UNS, Dwijawarta UNS, SENI ISI Yogyakarta, Dikti, ISI Gelar Surakarta, ISI Dewa Ruci Surakarta, Humaniora UMS, Humaniora UGM, Cakrawisata LPPM UNS, Spektrum PBS, Varidika FKIP UMS, Ilmu Sosial UMS, Seni Rupa UNIMED Medan. Buku yang ditulis Filsafat Seni (2005) Revitalisasi Wayang Orang (2006), Antropologi Seni (2007) dan Seminar (2008)


[0] Makalah Pembanding Seminar Nasional Penelitian Seni Rupa dan Multikultural UNY 28 Oktober 2009

[1] Staf pengajar Prodi Seni Rupa FKIP UNS Surakarta

[2] Boas, F. 1955. Primitive Art. New York: Dover Publications. h 1

[3] Simatupang, L.L. 2006. Jagad Seni: Refleksi Kemanusiaan. Makalah Worshorp tentang Tradisi Lisan pada tanggal 6 September 2006 di Yogyakarta.

[4] Firth, R. 1992. “Art and Anthropology”. Dalam Anthropology Art and Aesthetics. Coot, J. and Shelton, A. (ed). New York: Oxford University Press. h.16

[5] van Puersen. 1990. Fakta, Nilai, Peristiwa. Diterjemahkan oleh: A. Sonny Keraf. Jakarta: Gramedia. h 67

[6] Dillistone, F.W. 2002. Daya Kekuatan Simbol terjemahan Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius. h. 28

[7] Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2002. "Tekstual dan Kontekstual Seni dalam Kajian Antropologi Budaya". Makalah Diseminarkan pada Seminar International Metodologi Penelitian Seni Pertunjukkan Indonesia. Surakarta STSI 3-4 Juli.

[8] Sastrapratedja. 2000. "Pendidikan Nilai". dalam Pendidikan Nilai. (Sastrapratedja ed.). Jakarta: Gramedia. h. 3

[9] Ambroise, Y. 2000. "Makna Nilai" dalam Pendidikan Nilai. (Sastrapratedja ed.). Jakarta: Gramedia. .h. 20

[10] Cassirer, E. 1987. Manusia dan Kebudayaan (Sebuah Essay tentang Manusia). Terjemahan Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia. h.41

[11] Spradley 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winstons

[12] Spradley, J.P. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winstons

[13] Agar, M.H. 1980. The Profetional Stranger : An Informal Introduction to Ethnography. New York: Academic Press. h. 3

[14] Pelto, P.J., Pelto, G.H. 1978. The Anthroplogical Research: Structure of Inquiry (terjemahan). Selangor: Dewan Pusat Bahasa. H. 77

[15] Abdullah, I. 2007. Konstruksi dan Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. h 26

Makalah Loro Blonyo UNNES

Seni Tradisi (Patung Loro Blonyo) dan Pengembangannya

dalam Masyarakat Jawa Kontemporer[1]

Dr. Slamet Subiyantoro, M.Si.[2]

A. Pengantar

Satu hal penting dalam setiap fenomena kehidupan yang hadir dalam masyarakat manapun (lokal, regional, nasional dan internasional) ialah kebudayaan. Kebudayaan adalah core atau inti khas perkembangan kehidupan manusia sepanjang sejarah. Setiap kebudayaan mencakup unsur gagasan, sistem perilaku sosial dan wujud atau bentuk yang tampak paling kongkrit. Salah satu unsur kebudayaan yang sarat dengan kegiatan mencipta, melibatkan rasa dan dorongan karsa hingga mewujud menjadi karya adalah kesenian. Kesenian rupa dengan segala cabangnya dalam satuan waktu yang bersifat terun temurun lama disebutnya sebagai bersifat tradisi (Smith, 1992: 279).

Dalam konteks kebudayaan pengaruh dan peran akal pikiran dan naluri manusia menempati posisi sentral. Setiap generasi dalam sejarah kehidupan silih berganti ada generasi tua dan muda. Generasi tua cenderung mempedomani tatanan yang diperoleh pada zamannya, sementara generasi muda lebih menerima budaya pada zamannya pula. Hal inilah masing-masing generasi saling mengklaim kebenaran atas kebudayaan, yang di dalamnya terdapat kesenian tradisi, untuk kemudian mereka pedomani sebagai tuntunan. Setiap generasi pada umumnya meskipun tidak seluruhnya mengaku cocok dengan tradisi zamannya.

Sehubungan dengan persoalan di atas, kebudayaan dan kaitannya dengan kesenian tradisi, setidaknya ada tiga pertanyaan menarik yang bisa dijadikan arahan pembahasan. 1) haruskah kita mengembangkan seni tradisi sama dari waktu ke waktu. Jadi kesenian tradisi yang ada dipertahankan mati-matian, misalnya bentuk harus tetap tidak menyimpang, atau 2) apakah pengembangan seni tradisi dilakukan dengan cara menambah unsur baru atas unsur lama yang sudah ada, dan 3) haruskah mengembangkan dengan cara mengganti seni tradisi yang ada dengan unsur baru sama sekali. Lalu bagaimana ketiga pertanyaan itu jika dikaitkan dalam permasalahan seputar seni tradisi dalam konteks kebudayaan kontemporer masa kini?

B. Tinjauan Seni Tradisi

Sebutan tradisi sering dilawankan dengan modern. Tradisi biasa diartikan sebagai kebiasaan rutin, seragam dan acuan secara adat. Pada sisi lain seni tradisi dicirikan sebagai seni kelompok atau kolektif, bersifat anonim, memuat nilai-nilai, dilanggengkan dengan sistem pewarisan sosial, dan fungsinya menstabilkan struktur masyarakat. Dalam konteks ini seni tradisi diartikan seni yang pasif, tidak berubah (lihat Fischer, 1994: 16).

Perspektif tradisi menurut cara pandang masyarakat atau pemikiran modern, adalah seni yang terikat aturan, sudah pakem, tidak berkembang, mandeg dan nilai diarahkan pada fungsional/terapan semata. Dalam pengertian kedua seni tradisi dicap sebagai seni baku sehingga sudah tidak lagi ada usaha perbaikan dan penyempurnaan. Penyimpangan bentuk dengan unsur lainnya diaanggap sebagai penodaan keabsahan tradisi. Katanya ia dibentuk dalam pola teratur dengan proses keterulangan yang sama, sehingga statis.

Dengan demikian kedudukan seni tradisi dalam kerangka seni modern, ia tidaklah termasuk sebagai seni kreatif, karena bersifat imitatif atau meniru. Pada aspek proses kesenian tradisi juga diadili sebagai kategori kerajinan, sebab menuntut kemampuan teknis yang jlimet dan rumit. Aspek subyektifitas tidaklah dianggap dominan karena seni tradisi ini milik masyarakat atau kelompok. Benarkah kesenian tradisi dimaknai demikian oleh para pemiliknya sendiri?

Terkadang memang tidak bisa dipungkiri bahwa seni tradisi sering pula dicap oleh orang/kelompok, yang berlindung pada kemapanan untuk mendapat keuntungan secara ekonomi dan juga politik, untuk mencoba bertahan dalam kontek pelestarian, sekalipun toh nanti ia-pun akan runtuh pula. Sebab pada kenyataannya tidak pernah ada dalam sejarah, bahwa seni itu tidak berubah. Seni tradisi bukanlah dunia bertafsir tunggal yang diam. Ia sebuah dunia multitafsir dan selalu memiliki kecenderungan berbicara dalam bahasa zamannya. Tafsiran akan berkembang pada setiap generasi dan berusaha menginterpretasi realitas yang dipersepsikan. Itulah artinya bahwa proses dialektika pemikiran dunia tradisi tidak berhenti, berlangsung terus (lihat Gundono, 2004: 4-5). Dengan kata lain kesenian tradisi adalah senantiasa mengalami pergeseran dalam unsur tertentu.

Seni rupa tradisi mencakup berbagai cabang, seperti seni lukis, patung, kriya, seni bangunan dan sebagainya. Salah satu cabang seni tradisi adalah sepasang patung yang disebut loro blonyo.

C. Patung Tradisi Loro Blonyo dalam Pemahaman Masyarakat Jawa

Loro blonyo merupakan sepasang patung atau boneka laki-laki dan perempuan mengenakan busana Jawa gaya basahan penempatannya berdampingan dan diletakkan di depan krobongan senthong tengah rumah tradisional Jawa (Darsiti, 1989: 208; Santoso, 2000: 88). Dari segi bahasa, ia tersusun oleh kata loro berarti dua, dan blonyo berarti gambaran atau warna, maksudnya sepasang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan diperindah dengan aneka warna. Sebutan lain ada yang menghubungkan dengan sebutan rara atau wanita, dan juga blonyoh yang maksudnya lulur. Pengertian terakhir konotasinya adalah hubungan percintaan antara laki-laki dan perempuan, yang dikaitkan dengan peristiwa perkawinan. Dalam makna luas kedua patung dalam kesatuan pasangan dianalogikan sebagai refleksi pikiran Jawa yang harmoni dan manunggal (Subiyantoro, 2009: 532)

Secara umum patung ini dibuat dari kayu dan sebagian lain tanah liat. Terdapat kecenderungan bentuk relatif berbeda, didasarkan atas kedudukan atau status sosial pemiliknya. Dari hasil pencermatan di lapangan setidaknya dapat dikelompokkan ke dalam empat pemisahan bentuk patung menurut karakteristiknya. Mereka patung loro blonyo milik keraton, bangsawan, rakyat biasa dan loro blonyo model sekarang. Pada dasarnya ekspresi visualnya merepresentasikan tingkatan sosialnya masing-masing sekaligus sebagai cermin struktur masyarakatnya yang berlapis.

1. Patung Loro Blonyo Milik Keraton

Patung loro blonyo pria bagian atas tampak asesoris yang dikenakan berupa tutup kepala, biasa disebut kuluk atau kupluk kanigara berwarna hitam dikombinasi garis warna kuning disusun secara tegak dan mendatar secara melingkar. Kuluk yang dikenakan benar-benar merupakan kuluk sebagaimana aslinya, bukan bagian dari bahan kayu yang direka dengan sapuan warna.

Bentuk godhek tampak rapi, dan rambut warna hitam lurus bergelung dengan asesoris kondhe warna keemasan yang terbuat dari bahan tembaga. Pandangan mata yang terkesan sayu lurus ke depan dengan sikap kepala tegak. Penampilan alis tebal dengan garis tegas berwarna hitam melingkar mengikuti bentuk mata. Bentuk hidung mbongkok sumendhe, tidak mancung namun tidak pula pesek merepresentasikan profil khas Jawa. Bentuk bibir tipis bergincu warna merah. Bagian leher tampak mengenakan kalung asli rantai berwarna mirip emas dengan mendalion, ukuran memanjang hingga sampai pada pinggang.

Bagian tengah meliputi anggota badan seperti tangan, sikap ngapu rancang di pergelangan terdapat gelang sebenarnya warna keemasan. Bagian tengah juga tampak kelengkapan busana seperti setagen yang dikenakan, ujungnya berwarna bermacam-macam ada merah tua, merah muda, hijau dan putih. Untuk mengencangkan dan memperindah setagen menggunakan sabuk melingkar berwarna kuning keemasan kombinasi warna coklat muda dan putih penuh dengan hiasan motif geometris detil kecil-kecil. Ada asesoris keris warna coklat baik pegangan maupun tempatnya dari bahan kayu jati. Keris dan warangkanya bukan merupakan kesatuan bahan kayu dari patung tersebut, melainkan wujud asli keris diselipkan bagian pada pinggang sebagaimana lazimnya penganten pria.

Bagian bawah tercermin pada bentuk dan sikap kaki. Posisi duduk bersila dengan telapak dan jari-jari yang tidak terlihat terutup kain kebaya. Kebaya yang dikenakan motif batik kawung (parang rusak) warna coklat muda dilengkapi kombinasi warna keemasan.

Figur patung manten wanita bagian atas tampak pandangan mata sayu posisi sedikit menunduk, mencerminkan sikap keandhap-asoran orang Jawa. Goresan alis warna hitam tebal demikian pula ditemukan garis mata bagian atas warna hitam. Paes pada dhi berwarna hijau, bentuk rambut gelungan dilengkapi mahkota bagian atas, mengenakan cundhuk mentul batangnya warna kuning divariasi warna hijau. Bagian samping gelungan ada hiasan warna keemasan terbuat dari bahan kuningan-tembaga. Pada bagian telinga tampak mengenakan subang bulat yang ditempel dengan warna keemasan dan putih (permata). Bagian leher mengenakan kalung rantai dominan warna emas dengan bandhul besar bertingkat tiga berhiaskan rumit, tampak indah dan terkesan mewah.

Bagian tengah tampak sikap telapak tangan menempel paha, suatu sikap hormat yang dilakukan wanita Jawa pada umumnya. Kedua tangan mengenakan gelang asli berwarna keemasan. Bagian dada mengenakan kemben warna dominan hijau, kuning, merah dan keemasan untuk mendukung motif pecahan kawung. Bagian perut dikenakan setagen dominan warna hijau dan kontur ornamen warna keemasan. Setagen dilengkapi ikat pinggang warna keemasan di tengahnya terdapat asesoris berbentuk bulat penuh dengan ornamen berwarna putih perak.

Bagian bawah tampak kaki dengan posisi timpuh kelihatan telapak dan jari kaki kanan kiri, sikap khas kewanitaan orang Jawa yang membedakan dengan sikap pria. Kebaya yang dikenakan motif kawung warna coklat muda dikombinasi warna keemasan melengkapi kesan keagungan sebagaimana tercermin pada konteksnya, sebagai Ratu (sehari).

Secara keseluruhan warna sepasang patung pada kulit adalah kuning keemasan ada sedikit unsur warna agak coklat tua, mencerminkan luluran warna khas manten Jawa. Susunan bentuk patung dimodifikasi dengan teknik finishing yang tuntas dan rapi dengan pewarnaan yang matang. Proporsi antara bagian kepala, anggota badan dan badan serta bagian bawah tampak sebanding. Pengolahan bentuk pada setiap unsur pada susunan bagian atas, tengah dan bawah menunjukkan kecermatan anatomis. Dari segi ekspresi kedua patung menyiratkan sinar kepribadian sepasang penganten adalah khas priyayi Jawa tampak pandangannya yang bijaksana dengan sikap hormat. Dengan demikian figur sepasang patung loro blonyo milik Keraton merupakan mencerminkan tampilan realis, menyerupai struktur dan bentuk manusia layaknya. Unsur-unsur yang ditampilkan baik bentuk, ekspresi wajah, jenis asesoris, warna, kesan bahan dan sikap anggota badan, secara keseluruhan menggambarkan pesan simbolis yang merepresentasikan keagungan dan kewibawaan.

2. Milik Para Bangsawan

Pandangan patung pria tampak ke arah depan sedikit ke bawah, bagian kepala mengenakan kuluk kanigara warna hitam ada garis kuning tipis menghias dengan posisi tegak dan mendatar. Rambut berwarna hitam lurus tidak gelungan sebagian lain ada yang gelungan. Alis mata agak tebal, cambang memanjang sementara pada ujung telinga terdapat hiasan berupa sumping. Bibirnya bergincu merah tua kecoklatan. Ada kalung asli dikenakan sebagai hiasan pada bagian leher.

Posisi kedua telapak tangan di atas paha kiri dan paha kanan kaki dengan keadaan tangan seperti sikap duduk hormat lazimnya wanita Jawa. Mengenakan gelang warna keemasan pada tangan kiri kanannya masing-masing jumlahnya dua. Hiasan gelang bukan asli sebagaimana dikenakan pada loro blonyo Keraton, melainkan menyatu dengan bahan. Mengenakan cincin pada jari kelingking dan jari telunjuk berwarna emas baik pada jari kiri maupun pada jari kanan. Bagian perut terdapat selendang dominan berwarna merah, bagian atas ada motif garis berwarna kekuningan sedangkan bagian bawah bentuknya seperti gelembung air yang fungsinya sebagai kontur dengan warna kuning keemasan. Mengenakan sabuk dengan motif bagian atas berupa rantai warna keemasan dengan warna putih sebagai kontur. Bagian tengah terdapat motif bunga-bungaan warna keemasan dan merah tua, sedangkan warna bawah ada hiasan warna emas dan coklat tua.

Bagian bawah tampak sikap duduk bersila kedua telapak kaki dan jari kaki tidak kelihatan. Pada bagian bawah mengenakan tutup motif batik warna coklat keputihan, ada kombinasi warna coklat muda dan coklat tua.

Tampilan patung manten putri rambut bergelung melebar membelah dua sama besar, ada hiasan bagian belakang bunga warna merah muda, sedangkan bagian luar berwarna keemasan. Hiasan pada rambut bagian atas telinga baik kanan dan kiri terdapat mahkota motif bunga, bagian tengah terdapat mahkota polos warna keemasan. Ada subang bulat bermotif bunga di tengahnya terdapat warna merah, coklat, sedangkan bagian luar berwarna kuning keemasan kombinasi warna kuning dan putih. Mengenakan kalung rantai asli ada bandhul dengan ukuran sangat kecil. Hiasan alis ada cekungan pada bagian ujung agak menyudut terkesan galak. Warna bibir merah cerah, bagian atas ada kontur hitam. Warna paes langsung dari rambut, berbentuk sederhana tidak ada ujungnya, sedangkan bentuk cambang lancip panjang, terkesan tegas.

Bagian tengah terdiri bagian tangan, menunjukkan sikap kedua telapak menumpang pada paha, merupakan sikap hormat ala Jawa. Kedua tangan mengenakan gelang serta dua cincin pada dua jari telunjuk dan jari manis. Bagian perut mengenakan setagen jadi satu dengan kembennya, ada hiasan berupa garis membentuk kontur berwarna emas dan hijau pada bagian tengah untuk memisah bidang, ada motif gelang hitam, merah, putih dan keemasan sebagai konturnya. Hiasan pada kemben motifnya bunga warna keemasan dan hijau, bagian bawah mengenakan sabuk tampak mengitari setagen. Warna sabuk dominan coklat sedikit hitam pada bagian samping tampak ada hiasan bunga warna keemasan.

Bagian bawah patung wanita tampak sikap duduk timpuh telapak kaki di belakang, sehingga kedua kaki tidak tampak dari depan, sebagaimana loro blonyo milik Keraton. Warna kain batik yang dikenakan kombinasi antara warna coklat keputihan, coklat muda dan coklat tua, tidak terdapat warna keemasan. Kesan ini menunjukkan kedudukan bangsawan adalah masih di bawah keagungan Keraton.

Struktur bentuk patung loro blonyo milik bangsawan terkesan sebagai hasil masa dahulu (lama), perwujudan bentuk ada arah akan menuju realis akan tetapi ada beberapa hal yang belum mengena, seperti misalnya proporsi belum sebanding dan ornamen lebih pada corak dekoratif dari pada realis. Meskipun demikian ada kemiripan warna patung loro blonyo milik Keraton Kasunanan yang cukup matang. Secara keseluruhan patung loro blonyo masih menunjukkan kesan tradisi, dengan warna khas serta ekspresi magis. Dengan demikian strukur bentuk patung yang terdiri unsur warna, bentuk asesoris, serta corak hias khususnya pada kebaya dan selendang merupakan tampilan visual yang bersifat simbolis.

3. Milik Kawula / Orang Biasa

Sikap patung laki-laki tampak pandangan tegak ke depan lurus. Mengenakan kuluk kanigara warna hitam dikombinasi garis warna kuning agak tebal, dan kasar. Di atas kuluk ada bentuk lancipan seperti stupa, berwarna hitam ada warna kuningnya pada bagian atas dan bawah tampak tebal. Bagian telinga terdapat bunga. Rambut warna hitam ada gelungan tetapi tipis. Cambang hanya sedikit tidak tegas, sedangkan bentuk alis tebal tapi tidak tegas. Warna gincu dominan merah cerah, sedangkan warna kulit kuning kehijauan. Mengenakan kalung langsung menempel dari bahan bukan asli sebagaimana milik Keraton Kasunanan.

Sikap tangan agak ke tengah, mengenakan gelang terkesan dari bahan tembaga berwarna hitam. Bagian perut dikenakan setagen warna merah muda dengan ornamen stilasi daun warna putih di bagian atas dan bagian bawah penuh hiasan garis warna hitam. Pada setagen dilapisi sabuk warna merah muda dipenuhi ornamen gubahan dari bentuk daun warna putih sebagai konturnya, sementara bagian atas dan bawah didominasi warna hitam.

Posisi duduk bersila dengan telapak dan jari kaki tidak kelihatan, karena terlingkupi kain. Motif kain batik warna coklat tua kombinasi warna coklat keputih-putihan.

Susunan bentuk patung wanita tampak bagian kepala terdapat gelung, lebih kecil di banding patung milik bangsawan. Ada mahkota antara rambut dan gelung langsung dari bahan kayu di bagian atas berwarna keputih-putihan, ada mahkota bentuknya sangat sederhana namun tidak ada cunduk mentul. Paes pada dahi tepinya berwarna emas sebagai kontur peyajiannya tidak begitu rapi, berupa garis lurus yang dimodifikasi langsung dari bahan baku patung tesebut. Cambang membesar sampai ujung telinga, tidak lancip sebagaimana milik bangsawan dan Keraton. Ukuran subang yang dikenakan lebih kecil pada bagian yang bulat berwarna hitam. Warna alis hitam agak tebal namun pendek bentuk terkesan kaku dan relatif tidak mencerminkan profil wanita priyayi. Gincu warna merah cerah, sedangkan warna kulit kuning agak kehijauan

Sikap tangan ke tengah, mengenakan gelang warna tembaga dan gelang atas warna coklat kehitaman terkesan dari bahan tembaga. Mengenakan setagen dan kemben jadi satu warna merah muda, dengan motif hias gubahan bentuk daun dan bunga dengan dominan warna hitam dan keemasan

Bagian bawah tampak pada posisi duduk bersila dengan telapak dan jari kaki tidak kelihatan. Motif batik warna coklat tua dan coklat keputih-putihan

Dari aspek visual baik patung pria dan wanitanya mengesankan perwujudan yang impresif, ada keinginan mengejar bentuk manusia yang realis, tetapi tidak bisa mencapai dengan baik. Hal ini dikarenakan proporsi badan dan anggota yang tidak seimbang. Demikian pula dalam warna seperti kuning, merah penerapannya dengan teknik blok sehingga tidak ada kontur. Sementara dari segi ornamen tidak detil, tampak apa adanya. Secara keseluruhan kedua patung lebih merupakan perwujudan bentuk semata meskipun belum mendekati sasaran, terkesan polos dan profan, tidak sekuat pada patung milik bangsawan dan milik Keraton yang tampak magis-mistik-simbolis.

4. Loro Blonyo Model Jaman Sekarang

Patung loro blonyo pria bagian atas tampak pandangan mata lurus ke depan. Bagian kepala mengenakan kuluk kanigara warna hitam, di atasnya ada stupa, warna emas sesuai kontur. Tampilan alis halus berukuran kecil, bentuk mata divisualisasikan secara dekoratif. Gincu berwarna merah cerah, namun kontur bibir warna hitam. Kalung dimodifikasi langsung dari bahan secara sederhana, sementara hiasan kanan dan kiri terkesan tidak menyatu seperti pada lazimnya.

Sikap badan tegak dan posisiya duduk. Kedua tangan diletakkan ke depan di atas paha. Jari kuku bercat warna merah. Gelang bawah dan atas warna emas langsung pada bahan kayu. Setagen yang dikenakan warna merah muda dan biru dengan motif hiasan gubahan bunga warna putih. Hiasan sabuk lebih bergaya geometris dengan warna hitam dan warna emas pada bagian tengah depan.

Posisi duduk bersila dengan mengenakan kain kebaya telapak kaki tidak kelihatan. Motif hias bagian ini coraknya geometris, gubahan bentuk bunga warna biru putih, emas dan hitam.

Susunan bentuk patung wanita bagian atas tampak pada rambut berwarna hitam, tidak terdapat cunduk mentul. Warna kontur paes adalah emas dan terdapat tahi lalat di antara kedua alis mata, bentuk alis mata melengkung tipis mengikuti lengkungan mata. Subang yang dikenakan warna merah, tampak ada titik hitam, sedangkan gincu pada bibir warna merah dan ada kontur hitam. Mengenakan kalung bukan asli, namun langsung dari bahan, ada bandhul besar jumlahnya satu. Warna kulit secara keseluruhan adalah putih polos, warna yang berbeda dengan patung loro blonyo tradisional.

Sikap kedua telapak tangan berada di atas paha, layaknya sikap orang Jawa menaruh rasa hormat. Jari kuku memakai cat warna merah, tangannya mengenakan gelang baik pada bagian bawah maupun bagian lengan. Gelang tersebut berwarna merah visualisasinya langsung pada kayu atau bahan. Bagian perut mengenakan setagen jadi satu dengan kemben, setagen warna biru dengan motif hiasan bunga warna putih. Kemben warna merah kecoklatan, kontur atas motif segi tiga warna biru muda, di tengah terdapat ornamen bunga warna merah dan putih. Pada sabuk terdapat ornamen geomertis warna hitam dan emas dengan ornamen di bagian tengah dan depan, berbentuk segi tiga berjumlah empat dan segi empat warna hitam berjumlah empat.

Fungsi seni patung ini pada dasarnya lebih pada kepentingan ritual dan digunakan sebagai kekuatan magis. Dalam kondisi yang berkembang fungsinya kemudian berkembang sebagai bagian dari asesoris ruangan, ia ditempatkan sebagai pelengkap keindahan interior. Bahkan bagi pengrajin patung atau boneka ini difungsikan sebagai sarana mencari nafkah sehingga mengarah sebagai motif ekonomi. Semua ini tidak lain adalah akibat dari perubahan kebudayaan

D. Perubahan Kebudayaan

Kebudayaan hidup dan berkembang dalam setiap masyarakat, baik itu lokal, regional, nasional maupun global. Ia berkembang justru ada tekanan dari dalam (internal forces) tetapi juga dipengaruhi oleh kekuatan dari luar (external forces). Kekuatan dari dalam justru muncul dari siklus kekuatan dalam setiap pergantian generasi. Generasi muda menggunakan pola pikir, sosial dan bentuk kebudayaan yang mewakili kelompoknya. Berbeda dengan generasi tua yang masih setia menggunakan acuan pola pikir, sosial dan bentuk yang masih dianggap relevan masa lalunya. Mereka hidup di zaman kini namun acuanya tetap yang lama, sehingga sering bersinggungan dengan pola acuan generasi muda yang menggunakan norma kekinian. Tidak jarang semangat generasi muda yang menginginkan perubahan itu mendesak tatanan yang telah mapan. Dampaknya tidak dapat dielakan yakni adanya perubahan, transisi, penyesuaian atas kondisi zaman yang mereka alami. Kekuatan ini bisa mendorong kuat warga masyarakat menafsirkan kembali kesenian yang dimiliki (tradisi).

Bagaimanapun kebudayaan senantiasa berubah, baik secara lambat (evolutif) ataupun secara cepat (revolutif). Pengaruh kebudayaan pada sisi luar tidak lepas dengan hadirnya media komunikasi, elektronik dan interaksi antar kelompok masyarakat yang berbeda kebudayaannya. Unsur ini mendorong kesenian tertentu tergoda dengan aneka tawaran melalui berbagai media. Interaksi ini lambat laun menentukan seleksi dalam upaya memperkaya unsur yang dianggap cocok dengan kesenian yang klaim sebagai miliknya.

Dalam bentuk kongkrit dampak kegiatan pariwisata juga mendorong proses interaksi, perniagaan. Pengaruh para utusan penyebaran agama yang disampaikan secara damai tidak kentara sebagai faktor pendorong perubahan kebudayaan. Pola penyebaran ini biasanya bersifat secara halus namun pengaruhnya lambat namun pasti, sebab relatif tidak banyak gejolak yang ditemukan apalagi konflik terbuka. Kenyataan ini tentu sangat berbeda bila dibandingkan dengan penyebaran kebudayaan secara paksa. Kebudayaan dikondisikan, dipaksakan melalui tindakan peperangan atau dengan cara kekerasan sepihak. Hal ini unsur-unsur bisa diterima namun banyak mengalami konflik karena terpaksa.

Kebudayaan juga berkembang secara kongkrit melalui kontak budaya seperti akulturasi, asimilasi, difusi, inovasi, komunikasi, interaksi. Perpaduan dua kebudayaan berbeda dengan mengambil unsur kebudayaan lain menjadi pemerkaya kebudayaan tertentu, namun tidak menghilangkan ciri khasnya, sehingga ia masih dominan. Bisa pula melalui sebaran kebudayaan dengan berbagai perkembangan komunikasi melalui telepun, video dan sebagainya. Kita semakin banyak mengalami tawaran aneka unsur budaya lintas bangsa bahkan dunia. Berbagai penemuan teknologi inovasi seperti komputer, internet telah memperpendek jarak geografi, mengaburkan batas-batas etnis, sistim politik dan kesenian itu sendiri.

Kesenian sebagai bagian kebudayaan, ia tidak terlepas dengan unsur lainnya, namun mengikuti induknya bergerak sesuai dinamika. Apabila kebudayaan mengalami perubahan maka kesenianpun yaitu seni rupa tradisi seperti halnya seni patung loro blonyo juga mengalami hal yang sama.

Pendapat para antropolog menegaskan bahwa setiap kebudayaan asli suatu masyarakat yang dimiliki pada awalnya tidak lebih dari 15 % . Kebudayaan diperkaya dengan adanya kontak dengan kebudayaan lain, mula-mula meminjam unsur lalu diolah dan dirasa cocok diseleksi sehingga bisa melengkapi. Dengan demikian kebudayaan yang dinamis menjadi lebih bisa mengakomodasi keinginan masyarakat pada zamannya. Proses mengembangan ini memerlukan waktu dan filter yang selektif oleh warga masyarakat atau individu masyarakat yang memiliki pengaruh kuat. Dengan demikian masyarakat pedalaman yang tidak bergaul dengan dunia luar, berbeda dengan masyarakat tertentu yang bergaul dengan dunia luar yang terbuka dan lentur. Keterbukaan interaksi dengan dunia luar memungkinkan kebudayaan saling terpengaruh, mengambil unsur yang relevan, memperkaya kasanah budayanya

Kiranya menjadi lebih jelas bahwa kebudayaan tradisi semakin menegaskan kedudukannya, bahwa ia senantiasa menyesuaikan tuntuan zaman masyarakatnya. Seni tradisi dengan demikian telah memenuhi atau sedang menyesuaikan situasi kondisi masyarakat yang mendukung kebudayaan itu. Apabila mengingkari keinginan masyarakat pendukung kebudayaan tradisi itu sendiri, maka hampir dapat dipastikan seni akan punah karena ditinggalkan oleh pendukungnya sendiri (lihat Mardimin, 199: 14).

Sebaliknya apabila seni tradisi dirasionaliasikan, disesuaikan unsur-unsur yang ada dengan kondisi zamannya, bisa diharapkan kesenian tersebut masih ada bahkan akan eksis. Artinya kesenian tersebut lestari sekaligus telah berkembang. Pergerakan seni tradisi bukanlah hal aneh, sebab ia melaju secara alamiah dengan maksud menyesuaikan, melangsungkan proses menuju adaptif, sebab ia bertransformasi (bandingkan Laksono, 2005: 2).

E. Reintepretasi dan Reproduksi Seni Tradisi

Pengrajin patung tradisi ditantang tidak sekedar meniru sama persis dengan para pendahulu sebagai pewaris. Masyarakat setiap generasi menuntut seni dalam bentuk lain, artinya ada modifikasi atau elaborasi. Dalam konteks ini perlu disadari arti pentingnya setiap generasi mereintepretasi dan mereproduksi seni tradisi dalam bentuk lebih kreatif (bandingkan Abdullah, 2007: 5-8)

Keaneka ragaman jenis, bentuk dan kualitas alat serta bahan di era sekarang ini memungkinkan dikembangkan keragaman teknik dan hal lainnya. Persoalan teknologi canggih dalam hal ini bakal berpeluang besar ikut ambil bagian dalam mewarnai seni tradisi bahkan mungkin bisa menggoyahkan. Namun sekalipun ia mampu merangksek hingga ke sendi-sendi seni tradisi paling dalam, tetaplah ia hanya sebagai sarana, tak mungkin menggantikan peran sepenuhnya seorang pengembang yang dilengkapi dengan kadar cipta, rasa, dan karsanya dalam menghadirkan sebuah karya rupa (Rudyansah, 2001: 4).

Tentu sarana teknologi kekinian memungkinkan diplihnya teknik yang variatif. Cara demikian membuka peluang dalam proses berkarya lebih mudah bahkan tidak ada kendala sama sekali. Hal ini turut pula mendorong seni patung tradisi seperti loro blonyo memungkinkan diperluas fungsinya. Kemudahan membuat keleluasaan lebih luas lagi seni tradisi dalam menstransform secara adaptif ke arah bentuk dan fungsinya.

Dengan demikian masyarakat pendukung kebudayaan yang di dalamnya, para pelaku seni tradisi secara aktif mencermati lagi / reinterpertasi terhadap seni tradisi untuk diolah kembali/ reproduksi dalam bentuk lain namun esensinya tidak berubah, ia masih menggambarkan figur loro blonyo. Pengembangan seperti bentuk luar hanyalah bersifat permukaan saja, sedangkan isinya relatif masih sama, inilah transformasi.

Keterkaitan historis tradisi yang terkait dengan nilai Jawa disadari atau tidak adalah bagian dari kelangsungan kebudayaan Jawa. Ia merupakan rekonstruksi pikiran masyarakatnya sebagai jawaban atas tuntutan kekiniannya. Pelaku kesenian tradisi mereproduksi atas fenomena lingkungan sekitar melalui budayanya. Seni tradisi dengan segala bahan dan alat yang lebih kaya, ditopang persepsi kekinian, atas realitas yang ditafsir mampu menghasilkan penafsiran baru. Seni patung tradisi loro blonyo dengan demikian bukan lagi sebagai teks yang ditafsirkan sebagai unsur kebudayaan yang terpisah. Ia tidak sekedar realitas tunggal, tetapi multi realitas yang memungkinkan hadirnya realitas baru sebagai pemecahan atas masalah yang dihadapi dalam kehidupan suatu masyarakat (bandingkan Simatupang, 2006: 3)

Ia bisa diposisikan dalam konteks luas seperti dalam dunia pariwisata. Seni loro blonyo dengan demikian semakin luas cakupannya, memungkinkan dikembangkan secara terpadu dengan aspek lain seperti pariwisata. Keberadaannya bukan lagi untuk fungsi terapan seperti ritual-sakral melainkan diperluas menjadi fungsi estetis bagi konsumen, sehingga lebih mengikuti kemasakinian/ kontemporer. Pada sisi pelaku seni tradisi, kesenian ditempatkan sebagai sumber ekonomi, mata pencaharian. Ia eksis sebab difungsikan sebagai sarana memenuhi kebutuhan pokok. Bagi konsumen seni patung tradisi loro blonyo bisa jadi untuk memenuhi kebutuhan tertiernya. Interaksi antar karyawan, maupun karyawan dengan pemilik unit usaha, dan relasi antara keduanya dengan konsumen/pasar maupun masyarakat secara luas, merupakan kesatuan aspek sosial yang turut mewarnai proses reintepretasi dan reproduksi atas seni tradisi.

Paparan di atas mengingatkan kita akan pentingnya pelaku seni rupa tradisi sebagai creatifman, yang turut mengambil bagian penting dalam mengembangkan seni tradisi dalam masanya (kekinian)

F. Transformasi Patung Loro Blonyo : Konteks Masyarakat Kontemporer

Konsep transformasi bukanlah berarti perubahan seperti yang terkandung pada arti change dalam bahasa Inggris. Transformasi dalam hal ini menunjuk pada berubahnya sesuatu namun tidak melalui suatu proses tertentu, dalam hal ini proses tidak dilihat sebagai hal yang penting. Karena hakekat transformasi adalah alih rupa atau dalam sebutan bahasa Jawa ngoko malih. Karena itu transformasi di sini adalah proses perubahan dalam tataran permukaan, sedangkan dalam tataran yang lebih dalam bagi perubahan itu tidak terjadi (Ahimsa Putra, 2001: 62-64). Ibaratnya dalam suatu bahasa isinya masih sama hanya cara penyampaiannya dengan bahasa lain atau berbeda.

Pengembangan seni sering disebabkan oleh faktor pendorong yang menjadi sumber penggerak. Dunia pariwisata adalah satu contoh pendorong kuat seni tradisi berkembang. Pariwisata berpengaruh besar terhadap pengembangan industri jasa. Industri pariwisata memicu seni tradisi bertransformasi. Ia bukan sebagai hal terpisah, namun bisa ditempatkan sebagai atraksi, tontonan dan juga komoditas. Dalam contoh paling kongkrit seni tradisi loro blonyo dikembangkan sebagai souvenir. Aspek ekonomi atau modal usaha merupakan pangkal kegiatan pariwisata dan berkesenian, sehingga keduanya sinergis satu sama lain dan saling menguatkan kedudukannya.

Dari tinjauan semula secara historis fungsi patung loro blonyo tidak sama dengan sekarang namun telah mengalami penyesuaian. Kita dapat mengecek sejarah ketika fungsi religius magis dominan pada masa kekuasaan raja, demikian pula ketika zaman menuntut bergeser ke arah politis atau fungsi kekuasaan. Pada akhirnya kini patung tradisi beralih menjadi fungsi ekonomi. Fungsi terakhir ini menjadi paling dominan untuk konteks kekinian.

Dalam pengembangan lebih jauh patung loro blonyo dapat disesuaikan. Loro blonyo sebagai seni tradisi yang semula bentuk wajahnya mencerminkan figur wajah formalistik sebagai perangai yang sakral. Demikian pula atribut lengkap yang melekat pada anggota badan patung. Termasuk bagian bawah patung yang berupa kain kebaya batik mengemban pesan budaya agung, sebagaimana tercermin pada motif kain batik sidomukdi, sidomulyo dan sebagainya. Dari bentuknya yang formalis, sakral kemudian bentuknya dideformasi, disesuaikan dengan kondisi tuntutan zaman (market) yang mengarah sebagai bentuk yang memiliki daya tarik, sehingga lalu ada penyesuaian.

Mimik ketawa, ekspresi lucu serta gaya liukan badan mengesankan bentuk yang tidak formal namun jenaka, ganjil yang pada dasarnya merupakan upaya pengembangan. Satu bentuk menong berupa pasangan figur patung atau boneka laki-laki dan perempuan, adalah bentuk pengembangan patung loro blonyo dalam bentuk lain. Boneka ini diproduksi di desa Sentolo, Kulon Progo dengan media kayu. Dalam media keramik atau tanah liat juga dikembangkan aneka loro blonyo di Kasongan, Kabupaten Bantul. Pada kenyataan di lapangan bentuk ini banyak dikembangkan pengrajin sebagai kreator, sedangkan dari aspek pasar diminati para konsumen (Guntur, 2000)

Perubahan permukaan dapat diarahkan dari segi ukuran. Aspek ini bisa dibuat lebih efisien karena bentuk lebih kecil, sehingga bahan yang diperlukan juga tidak seberapa. Pengembangan ukuran dari segi ekonomi dan media cukup menguntungkan. Sisa-sisa hasil pembuatan untuk ukuran besar limbahnya bisa dimanfaatkan untuk karya ukuran kecil. Dari sudut pandang nilai ekonomi tentu menguntungkan. Variasi ini juga merupakan sisi strategis dalam mengembangkan seni rupa tradisi lebih eksis dan produktif.

Pengembangan dari aspek media semula kayu jati, kayu Jawa namun bisa dikembangkan dengan fiber, gips dan bahkan bisa dibuat dalam jumlah besar (mass product). Media ini merupakan pengembangan dari sekedar satu macam kayu, sehingga keberadaan loro blonyo dalam masyarakat kontemporer akan memberikan keluasan untuk memilih. Suvenir dari bahan kayu banyak digunakan sebagai benda fungsional seperti gantungan kunci dan hiasan ruangan. Sebagai benda suvenir loro blonyo telah dikembangkan dengan media keramik baik yang dicetak maupun yang dibuat langsung..

Kaitannya dengan fungsi ritual magis, patung ini memiliki sifat sakral. Pandangan dikotomis patung yang ditempatkan pada ranah sakral dapat diseimbangkan dengan pandangan pofan atau keduniawian (Caillois, 1959). Dalam pengembangannya fungsi sakral magis patung di tempat wingit tetap dipertahankan. Namun perlu dikembangkan pula dalam fungsi profan (tidak sakral), hal ini secara riil ketika ditempatkan pada ruangan yang lain. Suasana ini bisa menjadi alternatif mengembangkan penempatan patung dalam tempat lebih luas.

Dengan demikian soal penempatan bisa dikembangkan. Apabila dahulu penempatannya di senthong tengah dalam struktur rumah tradisional joglo, maka bisa ditaruh ditempat lain seperti kamar tidur, ruang tamu, kantor, hotel dan bahkan di ruang lain seperti ruang makan dan ruang belajar. Hal ini memungkinkan patung tradisi loro blonyo dapat ditempatkan pada wilayah lebih leluasa, sehingga memiliki potensi dikenal, dipahami dan bahkan dimiliki. Sepasang patung penempatannya diperluas sebagai sarana menambah keadaan menjadi lebih indah, menarik, berkesan etnik dan seterusnya

Harapan patung sebagai sarana mendatangkan kesuburan, keharmonian, kemanunggalan, dapat dikembangkan lebih luas. Kalau semula kesuburan maksudnya adalah kesuburan dalam dunia pertanian atau kesuburan dalam dunia keturunan atau anak, sekarang bisa diperluas. Kesuburan bisa dikembangkan dalam arti rejeki kalau dahulu sawah masih banyak, maka rejeki juga berarti kesuburan karena sekarang sawahnya ganti di kantor, di pabrik, di toko dan sebagainya. Konteks keharmonian dahulu adalah pasangan kepala dan ibu kelurga, maka sekarang dikembangkan dalam bermasyarakat. Sedangkan harapan kemanunggalan kalau dahulu adalah menyatunya rasa antara suami dan isteri, sekarang diperluas menjadi kemanunggalan hubungan antar manusia, manusia dengan alam lingkungan dan hubungan antara hamba dan Tuhan.

Beberapa rasionalisasi sebagai upaya pengembangan dari sudut pandang bahan baku, bentuk-gaya, ukuran, penempatan dan fungsi semakin menegaskan pentingnya transformasi. Artinya dalam hal ini seni patung tradisi loro blonyo telah dimaknai secara lebih luas. Dengan kata lain masyarakat kontemporer telah mereinterpretasi dan rekonseptualisasi patung tradisi ke dalam pengembangan yang baru, namun esensi sepasang patung loro blonyo masih sama, pasangan laki-laki dan perempuan. Ia adalah simbolisme kaharmonian, keselarasan dan kemanunggalan atas dua hal yang berlawanan.

G. Penutup

Kesenian tradisi bukanlah seni yang mandheg atau sudah berhenti, ia senantiasa berproses menyempurnakan diri sepanjang sejarahnya, sebab jika tidak ia akan ditinggalkan masyarakatnya pendukungnya. Dalam konteks ini pengrajin sebagai kreator dan masyarakat sebagai apresiator sangat besar perannya dalam kelangsungan seni tradisi. Seni tradisi sebagaimana patung loro blonyo bergeser fungsi dari sakral ke fungsi ekonomi, sebagai bentuk penyesuaian atas tuntutan masyarakat pedukungnya

Persoalan penting dalam pengembangan seni tradisi adalah bagaimana persepsi-pelaku seni tradisi menafsir ulang dan mereproduksi ke dalam bentuk lain yang bersifat alih rupa namun esensinya sama (transformatif). Peran para teorisi-praktisi seni dan pasar serta gerak masyarakat menjadi sangat penting dalam kelangsungan kehidupan seni tradisi itu sendiri. Seni tradisi bergerak, berkembang dan senantiasa berjalan sseiring dengan pergantian generasi. Akhirnya dalam memaknai pengembangan kesenian tradisi dalam masyarakat kontemporer kata kuncinya adalah : ”tidak ada yang abadi. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri” Oleh karenanya para pelaku seni tradisi baik praktisi maupun teoritisi perlu menyamakan persepsi bahwa seni tradisi adalah seni yang dinamis (dynamic art) bukan seni yang statis (static art).

Daftar Pustaka

Abdullah, I. 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Pustaka Pelajar Offset

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. "Tekstual dan Kontekstual Seni dalam Kajian Antropologi Budaya". Seminar International Metodologi Penelitian Seni Pertunjukkan Indonesia. Surakarta STSI 3-4 Juli 2002.

Caillois, R. 1959. Man and The Sacred. Translated by Meyer Barash. Urbana and Chicago: University of Illionis Press.

Darsiti, 1989. Kehidupan Duna Keraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Tamansiswa

Firth, R. 1992. "Art and Anthropology" (Coot, J. and Shelton, A. ed.). Anthropology Art and Aesthetics. New York: Oxford University Press. Hal. 15-36

Fisher, Joseph. 1994. The Folk Art of Java. New York: Oxford University Press.

Gundono, S. 2004 “Culture Persimpangan dan Wayang Apa Saja Sebuah Proses Kreatif yang Bergerak”. Seminar Nasional Lintas Budaya. 30-31 Agustus STSI Surakarta

Guntur. 2000. Loro Blonyo dan Menongan: Komparasi Ekspresi. Laporan Penelitian. Surakarta: STSI

Laksono. 2005. “Reposisi Budaya Etnis dalam Wacana Transformasi Bangsa” Seminar Nasional Rekonstruksi Budaya: Upaya Penumbuhan Etos Kerja Dalam Menghadapi Tantangan Global 2 Maret 2005

Mardimin, J. 1994. Jangan Tangisi Tradisi Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisus

Rudyansah, T. 2001. “Simbiosis Seni dan Teknologi untuk Menciptakan Nilai Terbaru”. Seminar Internasional Seni dan Teknologi 16-17 Juli STSI Surakarta

Santosa. R.B. 2000. Omah: Membaca Makna Rumah Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya

Simatupang, L.L. 2006. "Jagad Seni: Refleksi Kemanusiaan". Makalah disampaikan dalam Workshop Tradisi Lisan Sebagai Wahana Komunikasi yang Sangat Efektif di Tengah Masyarakat yang Sedang Berubah tanggal 6 September 2006. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Smith, C.S. 1986. Macmillan Dictionary of Anthropology. London and Basingstoke: The Macmillan Press

Subiyantoro, S. 2009. Patung Loro Blonyo dalam Rumah Tradisional Jawa: Studi Kosmologi Jawa. Disertasi S3. Tidak diterbitkn. Yogyakarta: UGM

L. Riwayat Penulis

Slamet Subiyantoro. Lahir Klaten, 21-05-1965. Gol IVc, Pendidikan lulus D3 Seni Rupa & Kerajinan IKIP Yogyakarta (1987), S1 Seni Rupa & Kerajinan IKIP Yogyakarta (1989), S2 Antropologi Seni UI Jakarta (1998), S3 Antroplogi Budaya UGM Yogyakarta (2009). Pengalaman sebagai reviewer penelitian (LPPM UNS, Fak Sastra UNS, Dikti, ISI Surakarta), Pengelola jurnal ilmiah PBS FKIP (2001-2002; 2009-sekarang), Jurnal Cakrawisata LPPM UNS (1998-sekarang). Peneliti PUSPARI LPPM UNS (1998-2006), peneliti PPLH LPPM UNS (2006-sekarang). Penelitian yang sudah dikerjakan 73 judul meliputi penelitian kompetetif: dosen muda, fundamental, hibah bersaing, Menristek dan LIPI maupun kerjasama antar instansi dan dana internal UNS. Artikel yang ditulis 30 judul, 11 judul di antaranya dimuat pada jurnal terakreditasi. Beberapa artikel dimuat pada jurnal Paedagogi UNS, Dwijawarta UNS, SENI ISI Yogyakarta, Dikti, ISI Gelar Surakarta, ISI Dewa Ruci Surakarta, Humaniora UMS, Humaniora UGM, Cakrawisata LPPM UNS, Spektrum PBS, Varidika FKIP UMS, Ilmu Sosial UMS, Seni Rupa UNIMED Medan. Buku yang ditulis Filsafat Seni (2005) Revitalisasi Wayang Orang (2006), Antropologi Seni (2007) dan Seminar (2008)



[1] Makalah Pembanding Seminar Nasional Pengembangan Kesenian Tradisional dalam Masyarakat Kontemporer tanggal 18 November 2009 pada Jurusan Seni Rupa dan Kerajinan Universitas Negeri Semarang

[2] Staf Pengajar Program Studi Pendidikan Seni Rupa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP UNS Surakarta