Sabtu, 24 Oktober 2009

materi KKL SR tradisi Semester V)

MODEL PEMBELAJARAN KULIAH KERJA LAPANGAN (KKL):

SEBUAH CATATAN EMPIRIS KKL SENI RUPA TRADISI

(Sudi Kasus Prodi Seni Rupa FKIP UNS Surakarta)

Abstrak

Tulisan ini mengungkapkan secara empiris model pembelajaran Kuliah Kerja Lapangan (KKL) untuk mata kuliah seni rupa tradisi yang sudah dilakukan tiga tahun terakhir. Hasil pengembangan ujicoba menunjukkan bahwa pembelajaran KKL akan efektif apabila kegiatan kuliah tersebut dipraktekkan sebagai serangkaian proses pembelajaran bertahap, yang saling mendukung antara kompetensi satu dengan yang lain. Upaya mencapai kompetensi dapat diwujudkan dengan pendekatan kooperatif melalui berbagai metode dikolaborasi secara integral seperti karyawisata, kelompok, tugas, kuliah lapangan, diskusi, seminar dan pameran. Akhir serangkaian proses pembelajaran mampu memberikan kontribusi dalam membentuk subjek didik ke arah pengalaman proses yang berpengaruh positif dalam membentuk karakater sebagai pendidik, yang dilengkapi dengan kompetensi kesenimanan dan ilmuwan

Kata kunci : KKL, seni rupa tradisi, pembelajaran, penilaian


A. Pendahuluan

Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Seni Rupa (SR) Tradisi bobotnya tidak banyak hanya 1 SKS. Meskipun demikian tidak berarti muatan isinya harus semiskin bilangannya. Pengembangan materinya yang minimal itu bisa dirancang kaya dengan pengalaman, baik dalam tataran proses maupun hasil. Kenyataan ini memang menantang, namun sebenarnya memberikan peluang positif bagi pengembangannya. Ini artinya bahwa untuk menghadirkan pengalaman langsung perlu menawarkan model pembelajaran yang bernilai bagi subjek didik, sehingga model-model itu harus dicari, diciptakan dan senantiasa diuji keberadaannya.

Sudah bertahun-tahun bahkan lebih dari satu dekade, KKL Seni Rupa dilakukan dengan program tunggal, pergi ke Bali dan pulangnya menyusun laporan kunjungan sesuai yang ditugaskan. Sejak tiga tahun terakhir KKL SR tradisi tidak berupa kegiatan tunggal lagi, namun merupakan serangkaian kegiatan yang saling berkelanjutan dan menunjang satu sama lain. KKL didisain sebagai paket pemrosesan subjek didik sebagai raw input yang diolah melalui serangkaian proses agar matang, dan hasil yang dicapai bisa seperti yang diharapkan.

Sudah menjadi persepsi umum, bahwa KKL diartikan sebagai kegiatan tour, sedangkan aspek studi atau kuliahnya dipandang sebelah mata, sehingga komposisi substansinya tidak sedominan aspek tournya. Kesan penulis, dalam perspektif mahasiswa, KKL adalah sebagai kegiatan kuliah yang bersifat bersenang-senang. Meskipun mereka sadar bahwa kegiatan itu memerlukan uang cukup banyak, tetapi tidak dirasakan sebagai hal yang membebani. Menurutnya semua itu dinilai sebagai hal ringan dan biasa-biasa saja, rutinitas. Persepsi yang tidak menyenangkan itu setidaknya dilatari oleh pengalaman selama ini, bahwa KKL itu tabu apabila dilengkapi kuliah tatap muka di kelas. Sebab dalam pemahamannya aktivitas KKL dilakukan hanya sekali kegiatan, yaitu dengan cara piknik atau bersenang-senang, dan keyakinanya nilai KKL yang didapat rata-rata adalah baik (B), bahkan banyak nilai istimewa (A).

Berbagai persepsi tersebut mengundang satu pertanyaan, masih relevankah konsep KKL dan KKL seni rupa tradisi yang sedemikian? Apabila jawabannya tidak, lalu bagaimana model pembelajaran cerdas yang mampu membangun kompetensi perserta didik secara komprehensif? Jawaban atas pertanyaan ini adalah terletak pada bagaimana teknik yang tepat untuk mengatasi segala keterbatasan seperti aspek ruang dan waktu, namun memberikan dampak luas dan manfaat pembelajaran strategis.

Pada sisi lain kita sering menanyakan ulang, mengapa struktur pembelajarannya KKL amat terbatas, masihkah dianggap perlu kuliah tatap muka terstruktur? Apa sebenarnya yang telah diperoleh selama mengkuti KKL seni rupa? Pertanyaan-pernyataan itulah yang mendorong penulis menyusun model pembelajaran yang produktif dan inovatif. Dalam pembahasan ini akan dibicarakan berturut-turut konsep KKL, KKL seni rupa tradisi, pentingnya kuliah di ruang kelas, penerapan pembelajaran di lapangan, dan pembentukan karakter pendidik, seniman dan ilmuwan, serta pandangan dari pendekatan proses, model penilaian yang dikembangkan dan simpulan yang dapat ditarik.

B. Pembahasan

1. Reintepretasi dan Rekonseptualisasi KKL dan KKL SR Tradisi

Konsep KKL (kuliah kerja lapangan) pada dasarnya merupakan cara pembelajaran secara kongkrit di lokasi / luar ruangan kelas yang dilakukan dengan cara berwisata, tujuannya agar subyek didik memperoleh pengalaman langsung, yang diharapkan mampu membentuk diri subyek didik mengalami perubahan baik dalam aspek pengetahuan, sikap maupun ketrampilan dan nilai secara konstruktif (Subiyantoro, 1993: 61). Makna pendidikan ini masíh bersifat sempit, namun diharapkan pengalaman sekolah akan diproyeksikan dalam masyarakat secara luas, yakni membentuk fikiran, karakter dan kapasitas fisik yang berlangsung terus menerus seumur hidup (Manan, 1989: 9; Anshoiy & Pambayun, 2008: 2).

Konsep tersebut sangat positif, namun terkendala oleh fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa, persepsi umum penerapan KKL bersifat tour, jangka waktunya sesaat, kegiatan sebatas menyaksikan obyek, minim pelibatan secara proses, kegiatan tunggal dan diakhiri dengan membuat laporan. Secara praktis KKL dimaknai sebagai sarana piknik, terkesan bersenang (tour) dari pada studi, sehingga tidak jarang capaian hasilnya tidak seperti yang diharapkan. KKL secara normatif sebenarnya adalah sarana medekatkan teori dengan lapangan, karena itu ia merupakan belajar langsung, mengkongkritkan dunia pikiran subjek didik mengenai gambaran dunia nyatanya (Hammersley, 1990: 17).

Seni rupa tradisi dalam konteks ini adalah sebagai substansi dalam kegiatan KKL. Ia merupakan cabang seni rupa yang bersifat kolektif, pewarisan dilakukan turun temurun dan biasanya bersifat anonim, serta pada umumnya fungsinya untuk tujuan praktis (baca Subiyantoro, 2009). Berbagai cabang seni rupa tradisi yang pernah dilakukan untuk kegiatan KKL antara lain seni lukis wayang beber, kriya topeng, tatah sungging wayang kulit, kerajinan tanduk, kerajinan batik tulis, batik kayu patung loro blonyo dan arsitektur tradisional rumah joglo Mangkunegaran, kerajinan kuningan/ tembaga dan kerajinan keris. Ruang lingkup isi yang dikaji meliputi latar sejarah, proses pembuatannya, struktur visual, nilai-nilai kearifan lokal dan aspek lain seperti makna (nilai instisik) dan aspek perkembangannya.

KKL seni rupa tradisi dimaksudkan sebagai kuliah riil (lapangan) dimana subjek didik dapat mengamati proses dan situasi lingkungan, memperdalam dengan melibatkan secara praksis di tempat peristiwa yang dikaji (lihat Spreadley, 1980). Dalam hal ini para pelaku kegiatan kesenian tradisi seperti perajin, merupakan guru, sekaligus sebagai media untuk memperdalam gagasan, wawasan dan menggali pengetahun lebih jauh. Untuk menghadirkan pengalaman ini perlu diungkap dengan melalui wawancara mendalam (baca Spreadley, 1979), bahkan bisa menganalisis artefak yang telah ada atau sedang dikerjakan termasuk di dalamnya dokumen/ arsip yang bisa melengkapi informasi (baca Nasution, 1988). Dengan demikian lokasi kuliah merupakan arena kerja, situasinya kongkrit, melibatkan subjek langsung dan mengasah potensi yang diarahkan pada kompetisinya. Maka tidak ubahnya KKL seni rupa tradisi merupakan laboratorium yang di dalamnya terdapat bejana-bejana situasi yang sarat dengan fenomena menyangkut bentuk, proses, perwujudan, ide, pengalaman yang dapat diamati secara mendalam keberadaannya.

Dengan demikian KKL seni rupa tradisi melalui karya wisata hanyalah sebagai salah satu penerapan metode saja, ia sebagai sarana dan bukanlah tujuan, sehingga bisa dikolaborasi dengan metode produktif lainnya. Dengan demikian apabila melakukan KKL hanya menggunakan satu tempat dan bahkan cukup satu metode saja, maka sesungguhnya belum cukup sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Lalu bagaimana model yang efektif membelajarkan berbagai cabang seni rupa tradisi bisa dikuasai dalam satuan waktu amat terbatas? Maka penting dilakukan kuliah tatap muka terstruktur untuk memberikan arah kegiatan secara jelas.

2. Tatap Muka di Kelas: Upaya Memasuki Peta Kongkrit

Urutan KKL seni rupa tradisi merupakan serangkaian struktur kuliah dilakukan antara lain dengan kuliah pra lapangan (tatap muka), kuliah lapangan (baik secara internal-eksternal), dan kegiatan pasca lapangan seperti pameran dan saresehan. Tahapan kuliah di kelas merupakan proses awal yang melandasi tahapan kuliah lapangan (pra lapangan), dan kuliah lapangan merupakan tahapan proses berikutnya. Proses pembelajaran secara sistematis, saling melandasi tidak bisa dibolak-balik, dengan demikian kegiatan lapangan dan pasca lapangan amat tergantung pada kegiatan awal (pra lapangan). Rancangan ini menunjukkan betapa arti pentingnya kuliah tatap muka sebagai langkah membaca peta untuk memperjelas kompetensi yang akan dicapai dan cara mencapainya.

Kegiatan pra lapangan secara teknis dilakukan dengan pemberian materi awal secara tatap muka di kelas. Pertemuan ini dibahas silabus mata kuliah satu semester ke depan yang akan dijalani. Pada kesempatan penting ini subjek didik juga ditunjukkan tujuan yang ingin dicapai, prosedur kuliah yang melibatkan antara mahasiswa-dosen dan media, cakupan materi, metode yang dikembangkan dan sistem penilaian, termasuk kesepakatan kontrak kuliah mengenai rambu-rambu, aturan yang harus dihormati selama kuliah berlangsung, baik yang berkaitan dengan soal akademik maupun etika proses pembelajarannya.

Pada proses lanjut dilakukan kuliah teori, disampaikan beberapa kali dengan materi sekitar konsep seni rupa tradisi, dan berbagai cabangnya, metodologi seni rupa tradisi, penjelasan teknis lapangan, dan peta tugas yang dikerjakan secara kooperatif. Setelah tatap muka ada gambaran ke arah ranah yang kongkrit, dilakukan satu tatap muka konsultasi ke lapangan menyangkut soal ijin dan perangkat bahan maupun alat yang harus disiapkan.

Kegiatan lapangan tahap pertama merupakan kuliah di luar kelas dan bahkan di luar institusi, namun secara geografi masih berada di sekitar wilayah internal. Kegiatan ini sebagai landasan untuk melakukan kegiatan kedua yaitu kuliah lapangan di luar wilayah geografi (eksternal). Kuliah lapangan internal di lakukan di sekitar lingkungan Surakarta dan sebagian kecil di Yogyakarta, kedua wilayah merupakan pusat tumbuh dan berkembangnya seni rupa tradisi Jawa. Pemilihan lokasi didasari alasan perlunya subjek didik mengenal orientasi lokal agar tidak terlepas dari konteks lingkungan kebudayaannya sehingga tidak salah arah (Gong 70/VII/2005: 10). Kuliah secara eksternal dilakukan di luar wilayah Jawa biasanya di lakukan di Bali, tempat ini dipilih karena sebagai pusat kebudayaan seni rupa tradisi yang cukup kaya. Upaya bagaimana mengelola pembelajaran baik secara internal maupun ekternal memerlukan teknik dan strategi tersendiri.

3. Alternatif Pendekatan

a. Strategi Pembelajaran Pola Internal

Setelah memahami apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukan serta sampai sebatas mana yang harus dilakukan, maka tahapan kuliah lapangan dimulai. Proses kegiatan ini tidak lain adalah sarana untuk membentuk kompetensi subjek yang muatannya sarat dengan nilai-nilai seperti pendidikan, kesenimanan dan keilmuwanan. Nilai di sini adalah sesuatu yang dijadikan sebagai hal bermakna, hal yang sangat berarti dalam kehidupan (Sastraprateja 2000: 3). Oleh karena itu arti pentingnya nilai yang ingin dicapai menuntut strategi kuliah sebagai berikut:

1. Pembentukan kelompok kecil, setiap kelompok terdiri 3-4, dipilih secara demokratis melalui forum kelas dipimpin ketua tingkat, dosen hanya berperan sebagai fasilisator dan motivator.

2. Penjelasan tugas dilanjutkan pemberian materi kepada masing-masing kelompok secara demokratis dengan teknik random sampling, diserahkan masing-masing koordinator agar bisa menjamin keterbukaan. Tugas yang diberikan diundi secara transparan mengenai topik dan tempatnya, dengan demikian proses pemberian tugas tidak sepihak didominasi dosen, melainkan ada tawar menawar antara dosen dan mahasiswa. Dengan demikian struktur peristiwa dalam belajar mengajar bersifat terbuka (lihat Subiyantoro, 1993: 11).

4. Untuk memperlancar proses pengumpulan data di lapangan, mahasiswa diberikan kesempatan mengurus ijin ke lapangan dengan bimbingan dan konsultasi teknis.

5. Melakukan penelitian lapangan ke daerah tujuan selama 15 hari. Pendalaman ke lapangan diserahkan pada tanggung jawab kelompok yang dikoordinir ketua kelompok masing-masing. Dengan demikian terdapat interaksi antar anggota dalam kelompok, misalnya dalam menentukan waktu, mengambil keputusan, pembagian tugas, kebersamaan, dan seterusnya. Pendekatan secara demokratis ini dapat ditumbuh kembangkan melalui KKL dengan pendekatan kooperatif tanpa mengganggu kegiatan kuliah rutin. Bentuk kegiatan kuliah dan kerja di lapangan selain pengamatan proses terhadap situasi sosial di tempat terjadinya proses seni rupa tradisi, juga melakukan wawancara dan perekaman situasi dengan ketersediaan alat seperti kamera, sebagian lain memakai handicamp. Para subjek didik memiliki kesempatan luas untuk menelusuri, mendalami suatu realitas baik secara individual maupun secara kelompok.

5. Menyusun laporan kuliah kerja lapangan (internal) baik untuk laporan kelompok maupun yang individu. Setiap individu membuat laporan sendiri-sendiri yang harus berbeda dengan anggota lainnya. Hal ini dimaksudkan supaya ada kemampuan menulis untuk setiap idividu, sehingga ada pengalaman proses menulis.

6. Presentasi singkat pada masing-masing kegiatan kelompok. Dalam forum ini merupakan peristiwa berbagi pengalaman atas temuan dan pengalaman yang diperoleh masing-masing kelompok. Presentasi dengan media LCD, sehingga sangat efektif, bentuk dan proses dapat disajikan secara utuh dan kongkrit. Berbagai laporan setiap kelompok hasilnya dipadukan, sehingga diperoleh hasil kerja lapangan yang bervariasi. Dengan cara seperti ini masing-masing individu memiliki himpunan hasil yang lengkap dari semua kelompok sehingga sangat efektif sebagai bahan pembelajaran.

7. Setiap kelompok menyerahkan satu CD room hasil kegiatan lapangan berisi proses awal sampai dengan terakhir. CD room ini bisa menjadi media pembelajaran kelompok lainnya. Model ini juga bisa memicu subjek didik kreatif dalam mengaktualisasikan kompetensi kesenirupaan dengan keintelektualannya. Melalui strategi demikian KKL internal akan diperoleh banyak hasil meskipun dalam waktu relatif singkat.

b. Strategi Pembelajaran Pola Eksternal (Bali)

Kuliah kerja lapangan ekternal biasa dilakukan di pulau Bali. Tempat ini dinilai sebagai laboratorium seni tradisi lengkap dengan masyarakat yang di dalamnya para pendukung kebudayaan yang bersifat kolektif. Mengingat lokasi ini cukup jauh dan waktu kuliah amat terbatas, sedangkan cakupan nilai yang ingin dicapai cukup luas, maka langkah strategi pembelajaran ditempuh sebagai berikut:

1. Pembentukan kelompok secara demokratis sepenuhnya diserahkan mahasiswa melalui forum kelas yang dipimpin ketua tingkat. Setiap kelompok terdiri 3-4 anggota satu di antaranya sebagai ketua. Kelompok ini berbeda dengan susunan kelompok yang diterapkan kuliah kerja lapangan internal. Perbedaan anggota dimaksudkan supaya ada variasi. Penentuan anggota kelompok yang bervarisasi adalah cara belajar efektif melalui pasangan anggota kelompoknya. Hal ini memperkaya subjek menyerap pengetahuan dan juga pengalaman dari anggota kelompok maupun dengan kelompok yang berbeda (lihat Sugiyanto, 2007: 21).

2. Pemberian tugas secara demokratis, dilakukan dengan teknik undian random setiap kelompok yang difasilisatori dosen sebagai pendamping. Perosedurnya adalah masing-masing ketua kelompok mewakili mengambil undian terbuka, yang isinya adalah materi daerah sasaran yang akan ditempati KKL eksternal. Undian tempat amatan selanjutnya dibuka dan dibacakan di depan kelas sehingga dapat diketahui semua kelompok secara terbuka.

3. Pembekalan mahasiswa memasuki ke lapangan baik secara teknis maupun subtansi. Mahasiswa diberi kesempatan mengelola KKL secara mandiri dalam forum kelas. Peran dosen hanya fasilisator sedangkan secara langsung sepenuhnya dilakukan subjek didik. Ada nilai kerjasama individu dalam kelompok dan antar kelompok besar sebagai panitia. Peluang ini mampu mengembangkan nilai kebersamaan dan kemandirian dalam menjalankan tanggung jawab yang diemban masing-masing subjek didik

4. Praktek lapangan ke Bali selama empat hari, dua hari untuk perjalanan pulang dan pergi dari kampus ke tujuan dan sebaliknya, sedangkan dua hari lainnya adalah waktu untuk KKL di Bali. Mahasiswa sesuai tugas kelompok mengintensifkan pada bidang garapan masing-masing ke lokasi yang difokuskan. Tugas mereka antara lain mengamati, wawancara, merekam proses termasuk di dalamnya berbagai karya, dan menganalisis. Di lokasi tertentu juga dilakukan aksi kegiatan praktek kesenirupaan yaitu melukis dan membuat sketsa, kegiatan ini biasa di dilakukan di Bedugul. Bedugul adalah lokasi alam yang pemandangannya indah menarik dan nyaman untuk melakukan praktek kesenirupaan.

5. Menyusun laporan secara kelompok mencakup hasil wawancara, pengamatan, dan juga perekman artefak karya seni yang produknya adalah berupa CD room dan laporan tertulis.

6. Berkarya seni rupa secara individual. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai proses latihan mengasah kemampuan praktek. Apa yang dilihat, dihayati selama di Bali ditransformasikan sesuai minat masing-masing ke dalam bentuk visual. Langkah ini tidak lain adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban dirinya sebagai mahasiswa seni rupa yang dituntut memiliki pengalaman berkarya sebagaimana dilakukan para seniman.

7. Pameran bersama dilakukan satu kelas dalam tempat tertentu selama 2-3 hari. Pameran biasa dilengkapi katalog dan proses formalnya dibuka secara resmi oleh pimpinan Program Studi. Karya yang dipamerkan bervariasi tergantung pada minat subjek didik, bisa dua dimensi maupun tiga dimensi. Karya dua dimensi sebagian besar terdiri seni lukis, sketsa, sedangkan karya tiga dimensi berupa sebagian kecil patung, dan lainnya seni kriya. Kegiatan diikuti masing-masing secara individu membuat minimal satu karya di pamerkan setelah melalui seleksi yang dikelola sendiri oleh panitia, yakni mahasiswa iu sendiri.

7. Saresehan diikuti seluruh peserta kelas, mengupas seni rupa tradisi. Forum ini merupakan forum mempertemukan pengalaman mahasiswa setelah KKL, yaitu pengalaman secara proses dan hasil selanjutnya didiskusikan dengan dosen pengampu secara akrab (informal). Forum ini menjadi sarana untuk mempertemukan kemampuan secara integrated, ada pameran, diskusi hasil lapangan, dan refleksi kajian.

3. KKL dan Pembentukkan Karakter Pendidik, Seniman dan Ilmuwan

Struktur model pembelajaran yang telah diterapkan jika dicermati mulai dari kuliah tatap muka di ruang, KKL internal di lapangan serta KKL eksternal, bermuara pada ekplorasi informasi melalui sumber data yang dapat digali (informan, lokasi, peristiwa, dokumen/arsip dan karya). Upaya kerja lapangan dilakukan melalui mengamati proses pembuatan berbagai bentuk karya seni rupa tradisi. Rangkaian prosedur kajian dilakukan dengan melakukan wawancara, pengamatan terlibat namun dalam visualisasi karya, hal ini tentu menyangkut soal penghayatan. Pekerjaan ini tidak mudah, memerlukan teknik metodologis misalnya bagaimana teknik memilih informan, mewawancarai, mengumpulkan informasi valid.

Kegiatan mewawancarai adalah proses belajar kepada informan serta pada peristiwa langsung di sekitarnya. Keteraturan peristiwa yang hadir dalam susunan kegiatan yang dilakukan sejumlah orang, ada aktivitas, tempat serta relasi yang di antaranya di jadikan ruang, dan juga sarana untuk mendorong indera berfungsi dan terlatih, sehingga mampu menangkap interaksi timbal balik. Dalam keadaan demikian peran individu lebih sebagai instrumen, sebab kemampuan mengumpulkan informasi dan mengolahnya sangat tergantung pada peran individu. Semua rangkaian proses sangat terkait dengan upaya pembentukkan karakter keilmuwanan.

Aktivitas KKL juga melakukan aksi kesenirupaan di lapangan. Kegiatan praktek di lokasi meliputi membuat sketsa, melukis kesemuanya merupakan aktivitas melibatkan fisik secara langsung. Berkarya pasca KKL dalam beragam karya seni rupa tradisi baik seni lukis, kriya maupun patung adalah bentuk tindakan yang melibatkan organ fisik. Bahkan sampai kegiatan menyusun berbagai karya kelas dalam pameran agar bisa dilihat, dihayati, dinilai oleh pihak yang menyaksikan pada dasarnya berkenaan dengan kegiatan tangan, langkah gerak kaki, yang melibatkan seluruh tubuh. Kesemuanya ini mencerminkan aktivitas perilaku yang secara langsung melibatkan peran tubuh secara fisik subjek didik. Capaian aktivitas ini secara riil mampu menggerakkan jiwa dan kemampuan yang arahnya membentuk kompetensi kesenimanan menyangkut soal ketrampilan teknis yang fisikal.

Pada aspek lain, serangkaian kegiatan belajar membaca fenomena, dan penyerapan maknanya/ isinya, selanjutnya disusun dalam laporan tertulis yang disampaikan kepada anggota dan kelompok yang lain. Proses aktivitas menyusun laporan yang dibuat melibatkan soal bahan, teknik presentasi dan komunikasi antar kelompok. Dalam aspek peristiwa ini merupakan perwujudan forum komunikasi interaktif antara subjek dengan subjek maupun subjek dengan pendidik. Setiap kelompok mengkomunikasikan kepada kelompok lainnya melalui forum diskusi dengan media LCD. Beberapa kelompok kecil yang terdiri dari beberapa anggota bisa menawarkan pengalaman, didiskusikan sebagai media sharing pengetahuan. Forum ini membuka ruang masing-masing anggota kelompok berpartisipasi interaksi dengan audiens lain. Serangkaian kegiatan yang terkait seperti menyiapkan materi presentasi, menjelaskan, membuat media CD room hasil KKL internal dan juga KKL eksternal, serta diskusi kelompok, kesemuanya mencerminkan karakter sebagai pendidik.

Berbagai serangkaian kegiatan di lapangan yang dilakukan telah melibatkan subjek didik dalam berbagai dengan aspek. Aktivitas diskusi dan sarasehan sangat erat kaitannya dengan kemampuan membentuk karakter pendidik. Kegiatan kajian dan penulisan laporan mempengaruhi pembentukan karakter keilmuwanan. Berbagai kegiatan membuat karya dan pameran karya seni rupa lebih mengarah pada pembentukan karakter kesenimanan. Ketiga karakter yaitu pendidik, kesenimanan dan keilmuwanan tidak bisa dipisahkan apalagi berdiri sendiri, namun saling terkait. Satu sama lain. Betapapun demikian penekanan yang utama ranah pendidik tetap merupakan hal pokok, sedangkan dua lainnya menguatkan ranah utama tersebut. Ini artinya bahwa KKL seni rupa tradisi merupakan salah satu alternatif untuk membentuk kompetensi integratif yang saling mendukung pada kompetensi utama (bandingkan Uno dan Masri Kuadrat, 2009).

4. Memaknai KKL SR Tradisi: Tataran Proses

KKL sebagai sarana subjek didik menemukan diri melalui berbagai keterlibatan proses dibutuhkan serangkaian metode-metode. Komponen-komponen untuk mewujudkan aktivitas sebuah KKL memerlukan serangkaian proses yang bertalian. Keterjalinan proses menuntut penyelesaian dalam waktu dan substansi yang telah ditetapkan dalam tujuan yang ingin dicapai baik secara individual maupun kelompok kecil hingga kelompok kelas yang lebih besar.

Masing-masing unsur secara bertahap dalam keterlibatan diri subjek didik melalui variasi metode tidak lain adalah upaya menjadikan proses ”sebagai”. Ini berarti subjek didik sebagai raw input yang diolah telah diberikan kesempatan mematangkan dirinya, membentuk kepribadiannya menuju kompetensi yang ditentukan. Peran dosen tidak menjadi berarti, manakala mahasiswa (subjek didik) tidak secara langsung dilibatkan apalagi diberi ruang luas melibatkan diri.

Bagaimana keterlibatan langsung memanfaatkan pikirannya dalam menyelesaikan tugas atau masalah, setiap subjek menjadi bermakna keberadaannya ketika dirinya distimulasi dengan berbagai pendekatan melalui forum kelompoknya maupun dalam arena kelompok kelas. Kegiatan sejak persiapan ke lapangan dengan menyusun sejumlah pertanyaan untuk wawancara di lapangan, menyusun instrumen model pengamatan sampai dengan penerapannya di lapangan dalam mengumpulkan informasi adalah serangkaian pelibatan proses langsung aspek intelektualnya. Kegiatan mengembangkan kemampuan proses yang melibatkan intelektual tampak pula dalam kegiatan pasca KKL menyusun bahan presentasi dalam diskusi kelompok maupun diskusi kelas. Masing-masing individu dalam faorum kelompok berpeluang menjalin interaksi timbal balik, mengalami proses secara langsung, tentu dalam intensitasnya tidak sama. Pengalaman proses yang melibatkan aspek intelektual tingkat kuantitas dan kualitasnya sangat tergantung bagaimana kedalaman aktivitas individu yang bersangkutan.

Dari segi emosional subjek didik tidak terhindarkan terdapat beban tanggung jawab yang harus diemban sesuai tugas dan kewajiban yang dikonstruksi melalui forum kesepakatan kelompok. Proses perwujudan perilaku terarah mulai dari sejak tugas diumumkan, maka sejak itu pula emosi subjek telah terlibat dalam proses pemaknaan dirinya. Berbagai proses mencapai tujuan dari berbagai bentuk kegiatan KKL ke lapangan, keterlibatan sebagai kepanitiaan, baik sebagai koordinator, ketua seksi maupun sekretaris dan bendahara apalagi sebagai ketua baik kepanitiaan KKL eksternal, saresehan dan pameran merupakan sarana menstimulasi emosinya dilibatkan langsung secara proses dalam mewujudkan secara aktual tanggung jawab dan tugas yang dipikul.

Aspek emosional menjadi sangat penting dalam mematangkan kepribadian karena ketahanan emosinya dalam menghadapi dan mengendalikan semua tugas dan kewajibannya telah ikut serta mengambil bagian secara langsung mempengaruhi dan memproses subjek didik. Segala beban yang dipikul serta upaya perwujudan tanggungjawabnya dibutuhkan interaksi dengan dosen dan subjek didik lainnya, mereka saling mengendalikan perasaan satu sama lain. Dalam keadaan yang demikian sesungguhnya KKL seni rupa tradisi berperan positif membentuk subjek sebagai melalui aspek kestabilan emosionalnya.

Secara kongkrit setiap aktivitas yang dilakukan selama mengikuti serangkaian KKL pada dasarnya melibatkan secara langsung fisik subjek didik. Relasi gerakan fisik berkelanjutan satu sama lain, seperti tangan, kaki, indera dan organ lainnya dalam melakukan aktivitas merupakan proses belajar yang bernilai psikomotorik. Proses membuat karya dan serangkaian menysuun laporan tidak bisa terhindarkan dari kemampuan ketrampilan mengoperasikan komputer, demikian pula diskusi kelas yang melibatkan media LCD tidak terlepaskan dengan aspek ketrampilan menyusun power point dan sistem operasinya melalui LCD. Dan segala aktivitas lainnya dalam serangkaian KKL seperti kemampuan komunikasi, argumentasi dalam diskusi dan saresehan secara langsung melibatkan aspek fisik, yang dengan demikian telah ikut mengambil bagian dalam memproses diri subjek didik lebih trampil secara psikomotorik.

Apa yang dipaparkan di atas adalah bagaimana KKL seni rupa tradisi dikembangkan sebagai sarana membentuk karakter calon pendidik yang memiliki kompetensi integratif yang melibatkan berbagai aspek secara langsung sehingga ikut mengambil bagian dalam proses membentuk, seberapapun sumbangannya. Mengenai seberapa setiap diri subjek dengan tingkat kesadaran dan aktivitas menjadi terpacu, sangat tergantung dari peran dosen sebagai mitra belajar. Dalam hal ini peran sebagai motivator, dinamisator dan tentu sebagai fasilisator dalam membantu pemrosesan lebih intensif pada setiap diri subjek. Salah satu upaya untuk mendorong secara konstruktif melalui penghargaan yaitu penilaian atau feedback atas usaha yang dicapai baik secra individu maupun kelompok, dari sisi proses maupun hasilnya.

5. Model Penilaian yang Dikembangkan

Satu bentuk penghargaan sebagai keseimbangan atas kekuatan usaha baik secara proses maupun produk adalah berupa nilai. Pengolahan skor yang terwujud dalam simbol huruf A, B, C, dan D mampu menggerakkan subjek memobilisasi sikap dan perilaku produktif. Penilaian simbol A representasi istimewa, B adalah baik, dan C cukup, serta D mencerminkan kemampun kurang. Sistem penilaian yang meliputi kategori, bobot nilai, kriteria dan deskripsinya telah disampaikan pada kuliah perdana. Dalam hl ini subjek didik sudah paham apa yang harus dikerjakan, dan ingin dicapai, semua sudah ada dalam instrumen model penilaian yang dikembangkann.

Apa yang dinilai? Beberapa aspek yang dinilai meliputi aktivitas tatap muka, laporan KKL internal baik individu maupun kelompok, laporan kelompok KKL eksternal, karya pameran serta penghargaan kepanitiaan baik pameran maupun KKL eksternal, dan aktivitas selama diskusi (saresehan). Pada dasarnya peran dosen hanya mengolah, sedangkan isinya sepenuhnya tergantung dari usaha dan kemampuan subjek didik. Dengan demikian prinsipnya mahasiswa yang mencari, dosen mendampingi, membantu, menghitung dan mengolah sesuai dengan muatan kriteria yang ada atas capaian yang diperoleh masing-masing subjek didik.

Mekanisme penilaian dilakukan melalui pendekatan top down (hasil) dan buttom up. Penilaian top down (dari atas ke bawah) dilakukan dosen meliputi karya yang dipamerkan dan laporan KKL baik secara individu maupun kelompok. Penilaian dengan pendekatan buttom up (dari bawah ke atas) dilakukan oleh setiap mahasiswa. Mereka berhak menilai diri sendiri dan teman anggota kelompoknya maupun kelompok kelas. Materi yang dinilai secara proses antara lain meliputi tingkat partisipasi selama studi lapangan baik internal maupun eksternal, aktivitas kepanitiaan KKL, kepanitiaan saresehan dan kepanitiaan pameran.

Penilaian dari dua pendekatan ditemukan agar komprehensif secara proses dan hasil, sehingga ada transparansi penghargaan dari kaca mata mahasiswa maupun dosen. Dengan demikian nilai yang diperoleh mahasiswa sudah merupakan pemadatan dari berbagai aspek prestasi yang dicapai. Nilai tidak sekedar lambang angka kuantitas, tetapi kualitas, nilai bukan formalitas tetapi makna, nilai bukan hasil tetapi lebih bersifat proses, dan nilai bukan simbol sekuler melainkan historis sakral. Ini artinya bahwa nilai adalah suatu abstraksi yang merepresentasikan capaian integral dari berbagai kompetensi yang dibentuk melalui proses yang panjang.

Serangkaian proses prosedur, pola partisipasi subjek didik dan dosen dalam menentukan status penghargaan dilakukan secara menyeluruh dan proporsional. Pola aktivitas menilai menunjukkan partisipasi subjek didik menilai dirinya, subjek didik juga menilai temannya, sedangkan subjek mendapat feedback dari dosen, dan dosen menilai pekerjaan subjek didik. Pola penilain yang dikembangkan sangat lengkap dan tepat melalui pendekatan yang saling melengkapi (Uno & Masri Kuadrat, 2009: 74).

C. Penutup

Pembelajaran kuliah kerja lapangan tidak identik dengan wisata apalagi dimaknai sebagai bentuk bersenang-senang. Karyawisata hanyalah salah satu metode pembelajaran termasuk di dalamnya KKL, sehingga aspek mobilitas tour hanyalah sebagai sarana, sedangkan study adalah yang utama. Konsep KKL secara nyata merupakan kuliah bersifat kongkrit langsung di lapangan namun bisa dikembangkan sebagai satu kesatuan proses yang dilengkapi dengan kuliah awal di kelas. Pelibatan proses pembelajaran di lapangan pencapaiannya perlu ditopang dengan berbagai metode atau teknik, yang polanya memerlukan model pembelajaran tersendiri dengan pra-lapangan, tahap lapangan dan kegiatan pasca lapangan. Konsekwensi kegiatan bertahap menuntut pelibatan metode variatif seperti ceramah, karyawisata, tugas-kelompok, diskusi (saresehan), dan pameran. Dengan demikian KKL dalam seni rupa tradisi mampu menjadi sarana mengembangkan kompetensi mahasiswa secara integratif dan komprehensif yakni membentuk karakter sebagai pendidik, seniman dan ilmuwan yang diproses melalui serangkaian pengalaman langsung secara intelektual, emosional dan secara fisik atau motorik.

Mengingat keberadaan mata kuliah KKL sangat potensial dalam membetuk karakter pribadi subjek didik secara positif dalam berbagai aspek, kedudukan mata kuliah tersebut perlu direvitalisasi. Upaya ini secara sederhana dapat dimulai dari penyesuaian jumlah SKS yang proporsional, dan perlunya rekonseptualisasi dan reinterpretasi mata kuliah KKL seni rupa tradisi secara tepat.

D. Referensi

Anonim. “Pendidikan Seni Alternative”. Gong Media, Seni, dan Pendidikan Seni. Edisi 70/VII/2005. h 6-13

Anshoiy, S. Pambayun.2008. Pendidikan Berwawasan Kebangsaan Kesadaran Ilmiah Berbasis Multikulturalisme. Yogyakarta: LkiS

Hammersley, M. 1990. Classroom Ethnography, Empirical and Methodological Essays Modern Educational Thought. Terjemahan Warsono. Philadelphia: Open University Press.

Manan, I. (1989). Antropologi Pendidikan Sebuah Pengantar. Jakarta : Depdikbud, Dirjen Diktiproyek PLPTK

Nasution. 1988. Penelitian Naturaistik Kualitatif. Bandung: Tarsito

Sastrapratedja. 2000. "Pendidikan Nilai". dalam Pendidikan Nilai. (Sastrapratedja ed.). Jakarta: Gramedia.

Spradley, J.P. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winstons

Spradley, J.P. 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winstons

Sugiyanto. 2007. “Model-model Pembelajaran Inovatif” dalam Modul Pendidikan dan Latihan Profesi Guru. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13

Subiyantoro, S. 1993. Strategi Relajar Mengajar I (BPK). Surakarta: UNS Press

Subiyantoro, S. 2009. Loro Blondo dalam Rumah Tradisional Jawa: Studi Kosmologi Jawa. Disertasi S3. Yogjakarta: FIB UGM

Uno, H.B., Masri Kuadrat, 2009. Mengelola Kesadaran Dalam Pembelajaran Sebuah Konsep Pembelajaran Berbasis Kecerdasan. Yogyakarta: Bumi Aksara Yayasan Media dan Seni

E. Riwayat Penulis

Slamet Subiyantoro. Lahir Klaten, 21-05-1965. Gol IVc, Pendidikan lulus D3 Seni Rupa & Kerajinan IKIP Yogyakarta (1987), S1 Seni Rupa & Kerajinan IKIP Yogyakarta (1989), S2 Antropologi Seni UI Jakarta (1998), S3 Antroplogi Budaya UGM Yogyakarta (2009). Pengalaman sebagai reviewer penelitian (LPPM UNS, Fak Sastra UNS, Dikti, ISI Surakarta), Pengelola jurnal ilmiah PBS FKIP (2001-2002; 2009-sekarang), Jurnal Cakrawisata LPPM UNS (1998-sekarang). Peneliti PUSPARI LPPM UNS (1998-2006), peneliti PPLH LPPM UNS (2006-sekarang). Penelitian yang sudah dikerjakan 70 judul meliputi penelitian kompetitif: dosen muda, fundamental, hibah bersaing, Menristek dan LIPI maupun kerjasama antar instansi dan dana internal UNS. Artikel yang ditulis 27 judul, 9 judul di antaranya dimuat pada jurnal terakreditasi. Beberapa artikel dimuat pada jurnal Paedagogi UNS, Dwijawarta UNS, SENI ISI Yogyakarta, Dikti, ISI Gelar Surakarta, ISI Dewa Ruci Surakarta, Humaniora UMS, Humaniora UGM, Cakrawisata LPPM UNS, Spektrum PBS, Varidika FKIP UMS, Ilmu Sosial UMS, Seni Rupa UNIMED Medan. Buku yang ditulis Filsafat Seni (2005) Revitalisasi Wayang Orang (2006), Antropologi Seni (2007) dan Seminar (2008)

Materi penelitian kualitatif (S1)

PENELITIAN SENI RUPA:

MENCARITAHU REALITAS NILAI DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN

Slamet Subiyantoro[1]

A. Pengantar

Memperbincangkan seni rupa dalam ranah fungsi rupanya tidak lagi relevan di sini, apakah itu masuk golongan seni murni atau golongan seni terapan. Keduanya sebenarnya bisa saling dan silang fungsi, pure atau apllied. Beda itu hanya terletak pada konstruksi politis, persepsi. Saya tidak akan mempermasalahkan klaim atas kedua cabang seni rupa murni atau kriya. Saya menempatkan seni rupa pada umumnya. Menurut hemat saya seni rupa, ia sebuah karya seni, kehadirannya melalui pelibatan aspek motorik perupa, emosional dan juga intelektual. Ia memesankan nilai, individu atau kelompok. Nilai apa, itulah yang perlu dikaji, diteliti untuk mencari tahu realitas. Di mana letak realitas itulah sesungguhnya yang harus dicaritahu melalui penelitian budaya. Proses mencari realitas atau kebenaran nilai bukan soal matematika. Bukan suatu hal tabu untuk mengatakan hal unik, aneh apalagi ganjil. Tetapi jika itu terjadi apa adanya, empiris, kenapa tidak? Maka permasalahan yang akan dilihat di sini adalah bagaimana kita memaknai sebuah realitas seni rupa dalam pemahaman budaya melalui kegiatan penelitian.

B. Seni, perupa, kebudayaan dan masyarakat

Karya seni rupa dengan berbagai cabangnya adalah produk manusia. Cara pandang, perilaku dan bentuk karya yang dihasilkan adalah hadir di tengah masyarakat melalui kebudayaan[2]. Seni apapun, ia bukan tumbuh sendiri di luar konteks lingkungan yang telah melingkupinya, mempengaruhinya dan atau membentuknya. Maka tidak berlebihan pernyataan yang menyebutkan bahwa, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan. Tidak ada kebudayaan yang tumbuh tanpa masyarakat. Seni, seni rupa cabang kesenian adalah salah satu bentuk unsur kebudayaan. Dengan demikian masyarakat, kebudayaan, manusia dan seni adalah bagian integral yang bertalian satu sama lain.

Untuk memahami seni (rupa) tidak cukup hanya sebatas bentuk, melainkan harus menjangkau isi hinggá melibatkan ke empat unsur analisis seperti tersebut di atas. Identitas masyarakat sangat dipengaruhi sistem nilai sosial budaya, yang mewujud dari cara pandang, cara memahami, dan menilai sesuatu, termasuk di dalamnya mengenal seni. Seni dengan demikian adalah bentuk aktualisiasi atas sistem pengetahuan yang dimiliki. Masyarakat tradisional seperti lingkungan desa pola budayanya relatif homogin, berbeda dengan masyarakat kompleks seperti kota yang heterogen. Kebudayaan masyarakat sederhana relatif seragam, sistim kontrol kuat, bersifat kolektif. Masyarakat modern keberadaanya kompleks, sistim kontrol longgar, bersifat individual, sehingga perwujudan kebudayannya realtif bervariasi.

Kiranya dapat dipahami bahwa seni rupa bukan sekedar struktur rupa, tetapi merupakan sarana komunikasi warga masyarakat dalam menyampaikan sistem nilai yang diyakini. Perupa adalah bagian masyarakat yang mewakili nilai keindahannya. Dengan demikian seni rupa tidak lain adalah representasi kolektif, tradisi. Dalam struktur masyarakat modern nilai individu lebih kuat, akibatnya ide, perilaku dan ekpresi seni termasuk seni rupa cenderung bersifat pernyatan pribadi.

Latar lingkungan fisik, alam dan lingkungan sosial seperti sistem keyakinan, norma, nilai-nilai tidak terlepas begitu saja, ia menjadi frame warga yang pernah menjadi bagiannya. Lingkungan keluarga, peer group, tetangga, sekolah, masyarakat pekerjaan merupakan latar yang memiliki sumbangan dalam membentuk individu. Seperti apa gaya individu berekspresi, bentuk, dan tema maupun ide yang mewujud dalam tampilan seni rupa sangat dipengaruhi oleh lingkungannya.

Apabila masyarakat itu beragam, setiap individu dalam masyarakat juga merepresentasikan variasi. Jika seni adalah cabang dari kebudayaan, sudah barang tentu kebudayaan induknya kesenian tersebut dalam wadahnya di masyarakat. Setiap desa, wilayah tertentu, dan juga setiap etnik memiliki latar belakang sejarah, kearifan nilai-nilai lokal, sistim sosial budaya yang diwariskan generasi tokoh secara turun temurun. Masyarakat tidak dapat dipisah dengan lingkungan fisik, dan lingkungan sosial budaya, keberadaannya saling mempengaruhi satu sama lain.

Manusia dibimbing oleh nilai, pada saat sama manusia juga mengembangkan nilai. Setiap wilayah masyarakat di situ pula terdapat lingkungan sosial sebagaimana tercermin pada hubungan antar individu, dan lingkungan budaya yang melekat pada keyakinan masyarakat tersebut. Maka untuk memahami secara utuh suatu karya seni rupa tidak bisa lain semestinya menempatkan pada posisi sebagai warga masyarakat yang melibatkan diri dalam proses, dan waktu yang cukup panjang. Sistem pengetahuan yang dibangun tidak terpisahkan dengan persepsi terhadap realitas dan cara pandang internal yang erat bertalian dengan nilai-nilai.

C. Tentang realitas dan nilai

Sekali lagi berbicara tentang seni rupa tidak dapat dipisahkan dengan manusia. Bukan saja karena ia sebagai hasil tindakan manusia, tetapi di dalam aspek seni rupa terkandung refleksi tentang relasi manusia dengan manusia, manusia dengan alam lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Melalui seni rupa manusia menunjukkan, mempertanyakan, dan menawarkan berbagai kemungkinan posisi kemanusiannya. Fenomena seni rupa dengan demikian merupakan jagad refleksi kemanusiaan, sebuah dialektika yang tidak pernah berhenti sepanjang masa[3]

Dunia seni rupa diproses oleh dan sekaligus milik manusia. Ia dan peristiwa kesenian dikendalikan oleh aspek cipta, rasa dan karsa itu hanya melekat pada insan manusia bukan hewan atau makhluk lain. Ia adalah pernyataan pengalaman seseorang atau kelompok masyarakat tertentu[4]. Pengalaman rasa (keindahan) yang diekspresikan dalam berbagai bentuk seni rupa merupakan hasil interpretasi atas realitas yang hadir dalam realitas.

Realitas pada dasarnya adalah peristiwa sejarah umat manusia yang penuh dengan nilai. Realitas sepenuhnya terwujud dalam bidang etis, karena itu makna realitas lebih bersifat etis dari pada fisik. Realitas merupakan semacam fenomena misterius di balik fenomena kongkrit sehari-hari. Keberadaan dan interpretasi realitas atas realitas amat tergantung pada persepsi yang terbentuk oleh pengaruh kepekaan nilai estetis, nilai religius dan nilai sosial tentang dunia yang ada[5]

Pewujudan atas realitas yang diekpresikan melalui pelakunya adalah sebuah representasi nilai yang memadat dalam bentuk simbol[6]. Dalam budaya kolektif seperti halnya seni rupa, simbol lebih merupakan relasi atas struktur-struktur yang memuat pesan budaya. Pesan budaya lebih berupa nilai yang harus ditafsirkan maknanya berdasarkan wujud sebagai teks, dan aspek sosial budaya sebagai konteksnya[7]

Mengapa penting dalam menelusuri sebuah nilai dalam seni rupa. Oleh karena nilai adalah sesuatu yang dianggap positif, dihargai, diagungkan, dipelihara, dihormati, membuat orang bangga, bahkan nilai adalah segala-galanya. Konsep nilai merupakan satu dimensi dari seluruh usaha manusia[8]

Aspek nilai juga membantu untuk membedakan apa yang dilakukan, dan apa yang diinginkan, dirasa dan dipikirkan. Tindakan seseorang mencerminkan nilai yang dianut, nilai memberikan arah hidupnya. Orang bertindak berdasarkan nilai yang diyakini dan ini selalu diulang dan menjadi kaidah hidupnya. Semakin kuat nilai yang dipilih semakin kuat pengaruh nilai atas kehidupannya. Singkatnya nilai selalu meresapi dan mempengaruhi segala segi kehidupan manusia. Karena nilai adalah realitas dalam diri seseorang sebagai pendorong yang menjadi pedoman dalam hidupnya[9]

Dengan demikian karya seni rupa tak ubahnya adalah potret nilai perupanya yang ditafsirkan sebagai realitas. Subyektivitas dirinya apakah secara individual ataukah mewakili kolektifnya diwujudkan secara kongkrit dalam struktur bentuk dengan aneka cabangnya. Cara bagaimana mengungkap sebuah nilai dalam setiap karya seni rupa, lazimnya dilakukan dengan kegiatan penelitian (research).

D. Research, ”kebenaran” dan masalah obyektivitas

Dari segi bahasa, sebutan penelitian adalah bentukan dari kata dasar teliti, yang kira-kiranya maksudnya adalah cermat. Secara bebas dapat ditafsirkan penelitian kurang lebih adalah bagaimana kita memawas, melihat sesuatu dengan teliti dan cermat sebelum kita menarik simpulan atau pernyataan. Dalam terminologi asing, penelitian biasa disebut research, dari kata re berulang-ulang dan search mencari tahu. Dengan demikian research lebih merupakan usaha berulang kali untuk mencaritahu sesuatu, maksudnya adalah sesuatu yang perlu diketahui, yakni pengetahuan. Susunan pengetahuan yang sistematis itulah kaum ilmuwan menyebutnya sebagai ilmu.

Apa itu pengetahuan, maksudnya adalah kenyataan atau barangkali realitas? Kenyataan ini ditafsirkan sebagai ”kebenaran”, pertanyannya kebenaran yang mana? Itulah yang sering diperdebatkan. Apakah kebenaran itu obyektif atau subyektif. Dalam paradigma kuantitatif kebenaran adalah bersifat general, tunggal dan bersifat deduktif. Berlawanan dengan perspektif kualitatif, maka kebenaran itu bersifat jamak, kasusistis dan menuju proses induktif.

Suatu gejala, tanda, peristiwa, maupun situasi sering dilihat sebagai suatu fenomena yang juga lalu dikatakan realitas. Tetapi benarkan realitas itu ada pada fenomena tersebut? Itu sangat tergantung pada siapa yang memawas. Artinya bahwa kebenaan itu adalah konstruksi atas fenomena dengan orang yang memawas. Sebagai misal kecantikan tidak bisa digeneralisasi, tentu seorang isteri menurut suaminya dinilai cantik meskipun belum tentu menurut yang lain. Lalu dimana letak obyektivitasnya, kecantikannya atau yang menilainya. Inilah awal dari bias dalam menilai suatu hal atas cara pandang yang sepihak (etnosentris).

Dari mana pengetahuan dibangun? Pengetahuan yang dibangun masyarakat etnik didasarkan pada kenyataan yang sehari-hari dialami. Bukan atas apa yang seharusnya. Ini sangat berbeda dengan pengetahuan reasoning yang meletakkan kebenaran atas dasar logika teoritis. Berbeda dengan pengetahuan empiris, maka bukan penalaran yang dikemas dalam sebutan ilmiah, melainkan kenyataan di lapangan apa adanya. Sering terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan, itulah gambaran kebenaran reasoning, seharusnya dengan kebenaran empiris, senyatanya. Kita berada dalam wilayah mana dalam memawas. Tergantung kita ingin menggunakan kacamata siapa?

Persoalan pengetahuan yang dibenarkan atau ”kebenaran” sesungguhnya bersifat fleksibel, ia korban konstruksi atas kesepakatan, disusun atas asumsi keteraturan, ketertataan lalu diklasifikasi dan disimpulkan, jadilah kebenaran. Karena ia telah diuji maka kebenaran tersebut menjadi suatu teori.

Setiap peneliti adalah punya latar sejarah, kedalaman, penalaman dan kekuatan indera sehingga memiliki pengaruh dalam kemampuan mencermati fenomena. Ini artinya bahwa setiap orang bisa membuat penilaian, menyusunan pengetahuan dan mengkonsruksi obyektivitas. Obyektivitas adalah soal cara pandang. Pemaksaan, penyeragaman, thesis sok tahu atas ketidaktahuannya, menurut cara pandang kualitatif hanyalah akan menyesatkan dirinya sendiri dalam proses mencaritahu.

Seni rupa dalam bingkai kebudayaan dapat ditempatkan sebagai suatu subtansi kajian. Seni rupa hanyalah bagian dari unsur kesenian yang keberadaannya sama dengan kesenian lainnya (seni gerak, bunyi, tulis, rupa, dan campuran kesemuanya ini/ teater).

Kesenianpun harus disadari, keberadaannya tidak terpisahkan sebagai salah satu saja dari unsur kebudayaan. Dimana seni hadir, hendaknya juga harus dilihat keberadaannya, ia bukan sekedar obyek yang terpisah dengan subyeknya (perupa) apalagi dengan latar subyeknya. Dengan demikian seni rupa tidak hanya diposisikan sebagai teks, namun jika ingin dianalisis untuk mencaritahu kenyataan mengenainya secara utuh, secara sosiologis harus ditempatkan pada konteksnya. Ia penuh nilai, makna, bukan kuantitas tetapi kualitas, posisinya ada dalam wilayah kebudayaan.

Kendatipun demikian seni rupa hanyalah obyek, tidak lepas dari peran subyek (perupa), manusia sebagai penguasa dalam proses kreatifnya. Dalam ranah ini secara leluasa subyek bisa menciptakan, membangun, mengubah, melestarikan dan bahkan mengembangkan yang dipadatkan dalam bahasa simbol-simbol tertentu. Kreativitasnya manusia sebagai subyek dalam menciptakan dan mengembangkan simbol-simbol oleh Cassirer, manusia dijuluki sebagai animal symbolicum[10]. Melalui simbol inilah manusia dapat mengkomunikasikan kebudayaannya yang di dalmnya terdapat seni rupa

Tidak mudah kita mendiskripsikan, menjelaskan, menganalisis seni rupa terutama untuk mencaritahui nilai instrinsik yang melekat. Bagaimana nilai ada dalam karya cipta, dan bagaimana pula bisa diungkapkan, bisakah dilakukan dengan penelitian yang berbasis kebudayaan?

E. Penelitian seni rupa dalam bingkai kebudayaan

Bagaimana meneliti seni rupa?. Dalam perspektif kebudayaan seni rupa bisa ditempatkan sebagai fokus kajian memiliki tiga ranah wujud. Pertama ia bisa dikaji keberadaannya sebagai wujud suatu ide, kedua posisi seni bisa dikaji dari sistem perwujudannya, ia merupakan sistem sosial. Ketiga seni sebagai bentuk. Kedudukan masing-masing bisa dianalisis terpisah, namun bisa dikembangkan sebagai model untuk menjelaskan realitas seni rupa secara integral.

Seni rupa bisa dianalisis sebagai bentuk tata pikir/ ide perupanya atau masyarakat yang diwakilinya. Keberadaan ide memang abstrak, tidak tampak ada di lokasi kepala, harus dimunculkan dengan suatu perantara, sehingga dapat dipahami maksud perupanya. Peneliti tidak melihat dari sisi wujud, melainkan pesan di balik wujudnya. Seni rupa bisa dikaji pula dari tata lakunya. Bagaimana proses mewujudkan karya yang terangkai dalam proses, berpola dan khas. Dalam tataran ini sering pula melibatkan pihak lain, sehingga memungkinkan interaksi antar personal, karenanya ia merupakan sistem sosial. Pada tataran ini lebih empiris, tampak pada cara bertindak, membuat sesuatu meskipun kualitas dari waktu ke waktu tidak sama namun ada pola, keteraturan, dan ketertataan. Masyarakat seni tertentu seperti masyarakat batik, masyarakat pengrajin topeng dst bisa dijadikan lahan situasi sosial dalam ranah seni rupa sebagai tata laku. Seni rupa juga bisa dikaji dari aspek bentuk. Pada tataran bentuk sifatnya paling kongkrit, ia tersusun oleh struktur seperti warna, garis, bidang, tektur, nilai dan kesatuan secara fisik. Seni rupa dalam konteks ini adalah wujud, bentuk yang kasad mata bersifat relatif tetap.

Pokok kajian seni rupa bisa pula dikaji secara integral antara ide, perilaku membuat karya dan bentuk karya merupakan satu kesatuan. Cara menganalisis bisa dari tata pikir yang bersifat abstrak ke kongkrit, atau sebaliknya dari yang besifat kongkrit ke abstrak. Suatu karya seni lukis, patung, kriya baik individu maupun karya kolektif sangat potensial dianalisis secara terpisah/ struktural maupun integral.

Perlu dipahami bahwa tata pikir dan tata kelakukan (cara mewujudkan) karya seni kolektif setiap etnis, dan bahkan setiap individu (seni modern) memiliki jalan, cara dan gaya tersendiri. Keberagamaan ekpresi itu memiliki polanya yang khas. Tidak bisa dipaksakan harus sama misalnya antara pola ekpresi seni gerabah di desa Melikan Bayat dengan teknik putar miring dengan ekpresi seni gerabah di desa Dolon yang pola putarnya datar, meskipun keduanya sama di desa Bayat. Dalam hal motif hias batik Sragen dan Bayat walaupun sama–sama bukan dari keraton, namun gaya, motif hias dan pilihan warnanya masing-masing dilandasi oleh latar sosial budayanya. Dalam satu cabang seni rupa pada satu kesatuan desa saja mencerminkan perbedaan, apalagi jika dalam cabang yang berbeda dalam desa yang keberagaman, etnis yang tidak sama tentu akan lain, beragam.

Fenomena ini merupakan fakta budaya. Keberagaman adalah alamiah, ia bukan semata-mata sebuah jumlah-hitungan namun bersifat nilai, kualitatif, dan ekologis saling membentuk antara seni dan lingkungannya. Ia tidak mengingkari sifat-sifat lingkungannya tetapi menyatukan. Berbeda dengan karya seni rupa non kolektif, barangkali keberagaman itu terletak pada individualitas perupanya. Meskipun demikian betapapun ia mengasingkan dari lingkungannya agar bisa melahirkan karya yang nilai individualitasnya tinggi, namun tidak akan bisa melepaskan pengaruh lingkungan.

F. Teknik menggali sumber-sumber data

Sekali lagi wujud karya seni rupa adalah bentuk, ibaratnya bahasa ia sebuah teks, ia harus dipahami, dibaca sesuai dengan konteks. Seni rupa memiliki nilai yang tidak saja melekat pada benda melainkan pada pikiran pembuatnya atau masyarakatnya. Apabila ia representasi masyarakat maka ia mewakili pikiran masyarakat. Persoalan seni tidak bisa dipisah semena-mena melainkan kontekstual. Ibaratnya dua sisi dalam satu mata uang, sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain

Menggali data dapat menelusuri ke berbagai sumber seperti informan, tempat dan peristiwa, dokumen/arsip, berbagai karya/artefak. Informan adalah orang yang paham mengenai informasi yang akan dikaji. Banyak pengetahuan seni rupa tersimpan di kepala pemilik kebudayaan namun harus dikongkritkan, digali dan diungkapkan dengan suatu teknik tertentu. Tempat merupakan wadah penting terjadinya proses berkesenian. Tempat, kegiatan dan pelaku, merupakan unsur relasi dalam pembentukan peristiwa, seperti peristiwa berkesenian (rupa). Proses dalam peristiwa seni rupa dapat dicermati, ditata, diklasifikasi, dikonstruksi menjadi pengetahuan. Sumber lain yang dapat digali adalah dokumen maupun arsip.

Dalam menggali informasi, kebenaran bukan terletak berapa banyak orang yang ditanya, tetapi siapa orang yang ditanya, sudahkan tepat menggambarkan kualifikasinya sebagai informan. Kebenaran kualitatif bukan bersifat seragam atau populatif generalisasi namun kasusistis. Penelitian karya seni rupa dapat memilih informan yang tepat, bukan soal jumlah tetapi kualitas informan yang menguasai mengenai masalah yang akan diteliti. Satu orang saja apabila mumpuni sebagai orang yang akan memberikan keterangan yang sahih, mengapa harus bertanya kepada banyak orang yang belum tentu sebanyak orang tersebut mampu memberikan penjelasan sebagaimana diinginkan.

Kebenaran dapat dipahami dengan teknik pengamatan, terutama yang sifatnya melibatkan peneliti. Keseringan mengamati suatu gejala dan proses dapat membantu menghayati fenomena[11]. Fenomena lapangan yang perlu diamati adalah personal, tempat, dan aktivitas yang dilakukan, relasi tersebut namanya peristiwa. Peristiwa bermacam-macam ada peristiwa membuat topeng, membuat batik dsb. Dalam peristiwa ada proses, pola sikap dan tindakan dapat diamati. Setiap masyarakat memiliki pola dan cara sendiri dalam mewujudkan suatu karya seni rupa. Untuk membantu keterbatasan indera kita untuk melakukan pengamatan dalam waktu relatif terbatas, dapat menggunakan alat bantu kamera, video amupun hendicam.

Upaya menelusuri lebih mendalam mengenai hal yang tidak bisa diamati dapat digali melalui wawancara. Masalah cara pandang, gagasan, persepsi hanya dapat ditelusuri melalui wawancara mendalam. Wawancara yang baik adalah dengan tidak tersruktur, tetapi yang informal, bebas namun memfokus pada permasalahan[12]. Hal ini mampu mengorek kebenaran secara valid. Bukan formal tetapi substansial. Wawancara dengan tokoh adat, warga masyarakat pemilik seni tidak harus dibuat takut apalagi dengan kesan sok ilmiah, tetapi bisa membaur, mengobrol layaknya sahabat yang setara status sosialnya. Teknik menjaring informasi secara lengkap dapat dibantu dengan alat perekam suara, sehingga dapat diputar ulang jika ingin mengecek kebenaran informasinya.

Dokumen/arsis dapat dianalisis isinya. Data ini sudah ada tinggal mengolah seperti foto, tulisan, bahan dan alat yang terkait dapat dijadikan kelengkapan. Untuk melengkapi informasi/ data dapat digali dari data tulisan, foto, surat yang berkaitan dapat digunakan sebagai tmbahan. Data lainnya yang berupa karya seni dapat dianalisis struktur bentuknya seperti warna, bidang, garis, tekture dan media yang dipakai.

Semua sumber daya yang digali di temukan dalam masyarakat. Masyarakat adalah layaknya laboratorium untuk menguji ”kebenaran” yang di dalamnya lengkap dengan guru-guru yang siap membelajarkan kita.

G. Masyarakat: Tempat bergurunya peneliti

Peneliti sebagai orang luar (outer) tdak sama dengan orang dalam (inter). Keberadaan orang luar masuk menjadi ”orang dalam”, dalam rangka ingin memahami apa yang telah menjadi bagian dari kebiasaan ”orang dalam”. Caranya melibatkan langsung ke lapangan. Harapannya bisa melihat, melakukan, menghayati dan secara langsung terlibat dalam kegiatan yang diamati meskipun tidak sepenuhnya[13]. Dengan demikian kemudian paham betul apa yang akan ditulis, sehingga hasilnya merupakan potret yang mendalam mengenai seni rupa dan masyarakatnya.

Peneliti adalah orang yang belum tahu, ingin tahu dan melakukan untuk menjadi tahu. Bukan sebaliknya seolah tahu, padahal tidak tahu dan yang repot tidak mau tahu apa sebenarnya yang diketahui untuk diuji sebagai pengathuan. Satu hal prinsip sebaiknya peneliti berusaha mencari kebenaran dari sisi masyarakat pemilik kebudayaan (seni rupa). Maka dalam menghadirkan kebenaran tidak didominasi kekuasaan sang peneliti. Peneliti tidak berwenang menghakimi berbagai nilai menurut cara pandangnya (etik). Peneliti bukanlah seorang ahli dan penentu kebenaran, peneliti hanyalah mengumpulkan, menyusun data dalam batas metodologis. Secara substansi “kebenaran” yang dikonstruksi harus diklarifikasi dengan masyarakat setempat sebagai informan.

Kebenaran yang sahih/valid terletak pada realitas yang di legitimasi informan. Pemilik kebenaran lokal berwenang mengklairifikasi atas temuan peneliti yang ditulis. Bisa jadi apa yang disajikana adalah analisis peneliti yang dipengaruhi teori-teori yang mungkin sesuai, atau sebaliknya yang tidak sesuai dengan masalah yang diteliti. Dengan demikian informan adalah sebagai guru bagi peneliti, bukan sebaliknya peneliti yang menggurui informan.

Penulis hanya mengumpulkan informasi, data, secara metodologis kemudian disusun dan dianalisis selanjutnya dilaporkan agar direspon masyarakat yang diteliti. Peran peneliti hanyalah menempatkan kebenaran yang diposisikan pada proporsinya, yaitu atas dasar pemiliknya. Kendatipun demikian secara etik peneliti bisa menganalisis, mengajukan tafsiran atas data dan membuat suatu tarikan simpulan. Kebenaran atas klaim peneliti ini adalah bersifat etik. Berbeda dengan kebenaran yang ditempatkan pada pihak atau masyarakat yang diteliti, yang kedua ini kebenaran yang bersifat emik[14]

H. Peneliti sebagai instrumen analisis

Penelitian berbasis kebudayaan yang multikultur bukan terletak pada alat teknologi seperti kalkulator, computer sebagai pengolah data. Atau angket dengan optionnya yang akan mempengaruhi pola pandang. Alat hanyalah sarana sedangkan kecanggihan dan akurasi data terletak pada kekuatan peneliti. Ia memiliki indera untuk bisa memawas, menganalisis, menilai yang didasari oleh kepekaan dan kekuatan kemampuan dalam mencermati fenomena. Seorang peneliti dituntut selain memiliki ketrampilan lapangan (naluri), ada usaha ”menjadi”, dan memiliki pengetahuan luas serta niat yang konsisten. Meskipun demikian peneliti bukanlah tujuan tetapi sebagai instrumen agar bisa mencari tahu, mengolah dan menulis suatu kenyataan agar mendekati fakta adanya (valid).

Peneliti memiliki peluang mengekplorasi data dalam ruang dan waktu yang leluasa sehingga memungkinkan diperoleh informasi yang akurat. Termasuk dalam memilih informan yang tepat sangat membantu mengungkapkan ”kebenaran” yang kompleks. Keleluasaan peneliti mencaritahu kebenaran bukan tanpa syarat, sebab proses mencaritahu dan hasilnya tidak terlepas dari proses seleksi, proses uji, proses analisis yang sangat dipengaruhi oleh kepekaan indera. Bagaimana kepekaan kemampuan memawas seni rupa sebagai bagian kebudayaan secara menyeluruh, dibentuk melalui kebiasaan ke lapangan melibatkan diri, mengalami, menghayati sehingga sampai pada bagian dirinya.

Kekuatan peneliti sebagai alat mampu dioperasionalkan dalam mengungkapkan hal yang tidak jelas menjadi jelas, hal yang seolah tidak berhubungan menjadi jelas kaitannya, hal mendasar yang tampaknya tidak berfungsi tetapi berperan penting. Kekuatan peneliti sebagai alat akan mampu mengatasi setiap persoalan yang ada. Bagaimana kerumitan, kerahasiaan, ketidakterjangkauan menjadi terbuka, lentur dan mampu mengungkap. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas kebenaran menunjukkan tingkatan tertentu. Kedalaman analisis sangat ditentukan oleh ketajaman penelitinya dalam mengurai dan menjelaskan. Ini artinya setiap peneliti membawa kekuatan yang tidak sama apalagi seragam. Sejumlah peneliti cenderung memiliki multitafsir sesuai kedalaman masing-masing.

Alat mencerminkan tingkatan kualitas dari paling tinggi sampai pada tingkat biasa atau rendah. Apakah kemudian hasil penafsiran yang berbeda dalam kacamata penelitian disalahkan?. Tidaklah demikian maksudnya, persoalan perbedaan adalah sama benarnya, hanya kedalamannya saja yang tingkatannya lain. Tetapi bisa jadi perspektif atau cara pandang masing-masing beranjak dari landasan yang tidak sama.

Kalau begitu, bukankah multitafsir meresahkan peneliti lain dalam konteks mencari kebenaran, sebab hasilnya berbeda-beda? Kelompok ilmuwan yang telah mapan melihat kebenaran penelitian bukanlah satu yang mutlak. Ia hanyalah pendekatan, cara melihat dan memecahkan masalah berdasarkan ruang lingkup teori yang dijadikan sarana pembimbing. Ia sebagai alat untuk memawas fenomena, realita. Perspektif multi pandang sangat potensial menghasilkan kajian beragam. Nuansa kekayaan yang harus direspon sebagai referensi, wacana diskusi, perdebatan yang berkelanjutan sehingga proses ada dan inilah dinamika. Multikultural adalah refleksi dinamika atas anekaragam fenomena termasuk cara pandang, dan apreasiasi atas akibat cara pandang. Karena itu obyektivitas tersusun atas subyektivtas-subyektivitas. Lalu bagaimana dengan teori-teori yang sudah sahih, haruskan diikuti, ditinggalkan atau bagaimana?

I. Model teori: penuntun atau penentu ?

Penelitian dalam perspektif kebudayaan bersifat empirik bukan reasoning. Data seni wayang beber, batik klasik, tenun lurik merupakan topik kajian yang bisa ditelusri secara holistik, tidak sekedar visual seperti proses perwujudannya, struktur rupa dan kesatuan bentuk, tetapi bisa dikaji nilai instrinsik seperti nilai simbolisnya, fungsi dan makna, naupun nilai kearifan lainnya

Dalam proses menyusun simpulan atas fenomena seni rupa, tidak bersifat hipotesis testing yang alurnya deduktif, namun lebih merupakan sintesis konstruksi induktif, sehingga ia sebagai model of dari masyarakat. Teori-teori atau kajian yang sudah ada bukanlah diuji, dikuatkan namun hanyalah pentuntun relatif, ibaratnya sebagai tongkat untuk membantu kita bisa mencapai tujuan, bukan tujuan itu sendiri. Suatu saat tongkat bisa jadi tidak dipakai karena tidak relevan lagi, dan mungkin pula hanya digunakan saat perlu saja, ia bukanlah penentu.

Peneliti bisa menggali, menjelajahi dan menyusun temuan. Informasi yang diperoleh sangat mungkin banyak, potensial dijadikan bahan analisis untuk menggambarkan fenomena kesenirupaan secara keseluruhan, tidak saja struktur luarnya yang tampak namun juga struktur dalamnya. Dalam soal ini, ia bisa mengkritisi, dan bahkan merobohkan sebuah teori yang selama ini dinilai kokoh. Pada sisi lain memungkinkan dengan mengkolaborasi atau melengkapi atas temuan di lapangan yang memang kenyataannya teori itu telah usang, perlu direvisi.

Hasil penelitian bukanlah klaim mutlak, bukanlah segalanya tetapi alternatif untuk memawas dalam perspektif tertentu. Setiap wawasan tentu terdapat kelemahan, baik secara metodologis maupun subtantif. Maka fakta kebudayaan yang di dalamnya terdapat keragaman bisa menjadi inspirasi seorang peneliti seni rupa dalam menanalisis suatu fenomena seni. Dari aspek proses dan produknya secara realistik-empiris bukan bersifat mono (tunggal) tetapi multi (pural), dari segi nilai bukanlah kuantitatif tetapi kualitatif, dari sisi bentuknya tidak sekedar struktur tetapi ia memiliki isi, bermakna dsb. Sudah barang tentu penelitian seni rupa bukanlah pendekatan yang hard/ ketat, tetapi sangat terbuka bahkan perlu imajinasi dengan konteks yang berbeda untuk menghadirkan kekayaan-kekayaan dalam penafsiran[15]

J. Simpulan

Kemajuan dunia seni rupa, tidak bisa lepas dari sumbangan para pengkaji dan pencipta seni rupa. Para teoritisi ataupun pengkaji dan juga praktisi atau perupa memiliki peran penting dalam membangun epistimologi kesenirupaan kita. Budaya meneliti bidang seni rupa akan membuka cakrawala baru dalam menguatkan bangunan metodologi seni rupa yang kokoh, terutama dalam perspektif Indonesia. Keberlangsungan peristiwa ini menjadi jembatan emas untuk membuka peluang lebih luas bagi peningkatan peran pengkaji dan pencipta dalam mendinamisasikan dunia seni rupa secara menyeluruh, bukan saja soal keilmuannya, tetapi juga kesenimanannya dan pula apresiasinya dari segala lapisan masyarakat. Upaya memperkaya kasanah realitas nilai dari sisi kajian dapat dilakukan dengan pendekatan kebudayaan yang lentur, yang dimungkinkan akomodatif dalam menangkap berbagai kemungkinan fakta empiris, baik yang melekat pada karya, maupun yang berada pada pikiran perupanya, dan bahkan dalam lingkungan masyarakat sosial dan budayanya. Dengan demikian penelitian seni rupa dalam perspektif kebudayaan merupakan penegasan atas kemajemukan suatu nilai yang sekarang sedang direvitalisasi konstruksinya.

K. Daftar Pustaka

Abdullah, I. 2007. Konstruksi dan Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. h 26

Agar, M.H. 1980. The Profetional Stranger : An Informal Introduction to Ethnography. New York: Academic Press. h. 3

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2002. "Tekstual dan Kontekstual Seni dalam Kajian Antropologi Budaya". Makalah Diseminarkan pada Seminar International Metodologi Penelitian Seni Pertunjukkan Indonesia. Surakarta STSI 3-4 Juli.

Ambroise, Y. 2000. "Makna Nilai" dalam Pendidikan Nilai. (Sastrapratedja ed.). Jakarta: Gramedia. .h. 20

Boas, F. 1955. Primitive Art. New York: Dover Publications. h 1

Cassirer, E. 1987. Manusia dan Kebudayaan (Sebuah Essay tentang Manusia). Terjemahan Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia. h.41

Dillistone, F.W. 2002. Daya Kekuatan Simbol terjemahan Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius. h. 28

Firth, R. 1992. “Art and Anthropology”. Dalam Anthropology Art and Aesthetics. Coot, J. and Shelton, A. (ed). New York: Oxford University Press. h.16

Pelto, P.J., Pelto, G.H. 1978. The Anthroplogical Research: Structure of Inquiry (terjemahan). Selangor: Dewan Pusat Bahasa. H. 77

Sastrapratedja. 2000. "Pendidikan Nilai". dalam Pendidikan Nilai. (Sastrapratedja ed.). Jakarta: Gramedia. h. 3

Simatupang, L.L. 2006. Jagad Seni: Refleksi Kemanusiaan. Makalah Worshorp tentang Tradisi Lisan pada tanggal 6 September 2006 di Yogyakarta.

Spradley, J.P. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winstons

Spradley 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winstons

van Puersen. 1990. Fakta, Nilai, Peristiwa. Diterjemahkan oleh: A. Sonny Keraf. Jakarta: Gramedia. h 67

L. Riwayat Penulis

Slamet Subiyantoro. Lahir Klaten, 21-05-1965. Gol IVc, Pendidikan lulus D3 Seni Rupa & Kerajinan IKIP Yogyakarta (1987), S1 Seni Rupa & Kerajinan IKIP Yogyakarta (1989), S2 Antropologi Seni UI Jakarta (1998), S3 Antroplogi Budaya UGM Yogyakarta (2009). Pengalaman sebagai reviewer penelitian (LPPM UNS, Fak Sastra UNS, Dikti, ISI Surakarta), Pengelola jurnal ilmiah PBS FKIP (2001-2002; 2009-sekarang), Jurnal Cakrawisata LPPM UNS (1998-sekarang). Peneliti PUSPARI LPPM UNS (1998-2006), peneliti PPLH LPPM UNS (2006-sekarang). Penelitian yang sudah dikerjakan 70 judul meliputi penelitian kompetetif: dosen muda, fundamental, hibah bersaing, Menristek dan LIPI maupun kerjasama antar instansi dan dana internal UNS. Artikel yang ditulis 27 judul, 9 judul di antaranya dimuat pada jurnal terakreditasi. Beberapa artikel dimuat pada jurnal Paedagogi UNS, Dwijawarta UNS, SENI ISI Yogyakarta, Dikti, ISI Gelar Surakarta, ISI Dewa Ruci Surakarta, Humaniora UMS, Humaniora UGM, Cakrawisata LPPM UNS, Spektrum PBS, Varidika FKIP UMS, Ilmu Sosial UMS, Seni Rupa UNIMED Medan. Buku yang ditulis Filsafat Seni (2005) Revitalisasi Wayang Orang (2006), Antropologi Seni (2007) dan Seminar (2008)



[1] Staf pengajar Prodi Seni Rupa FKIP UNS Surakarta

[2] Boas, F. 1955. Primitive Art. New York: Dover Publications. h 1

[3] Simatupang, L.L. 2006. Jagad Seni: Refleksi Kemanusiaan. Makalah Worshorp tentang Tradisi Lisan pada tanggal 6 September 2006 di Yogyakarta.

[4] Firth, R. 1992. “Art and Anthropology”. Dalam Anthropology Art and Aesthetics. Coot, J. and Shelton, A. (ed). New York: Oxford University Press. h.16

[5] van Puersen. 1990. Fakta, Nilai, Peristiwa. Diterjemahkan oleh: A. Sonny Keraf. Jakarta: Gramedia. h 67

[6] Dillistone, F.W. 2002. Daya Kekuatan Simbol terjemahan Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius. h. 28

[7] Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2002. "Tekstual dan Kontekstual Seni dalam Kajian Antropologi Budaya". Makalah Diseminarkan pada Seminar International Metodologi Penelitian Seni Pertunjukkan Indonesia. Surakarta STSI 3-4 Juli.

[8] Sastrapratedja. 2000. "Pendidikan Nilai". dalam Pendidikan Nilai. (Sastrapratedja ed.). Jakarta: Gramedia. h. 3

[9] Ambroise, Y. 2000. "Makna Nilai" dalam Pendidikan Nilai. (Sastrapratedja ed.). Jakarta: Gramedia. .h. 20

[10] Cassirer, E. 1987. Manusia dan Kebudayaan (Sebuah Essay tentang Manusia). Terjemahan Alois A. Nugroho. Jakarta: Gramedia. h.41

[11] Spradley 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winstons

[12] Sradley, J.P. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winstons

[13] Agar, M.H. 1980. The Profetional Stranger : An Informal Introduction to Ethnography. New York: Academic Press. h. 3

[14] Pelto, P.J., Pelto, G.H. 1978. The Anthroplogical Research: Structure of Inquiry (terjemahan). Selangor: Dewan Pusat Bahasa. H. 77

[15] Abdullah, I. 2007. Konstruksi dan Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. h 26