Sabtu, 24 Oktober 2009

materi KKL SR tradisi Semester V)

MODEL PEMBELAJARAN KULIAH KERJA LAPANGAN (KKL):

SEBUAH CATATAN EMPIRIS KKL SENI RUPA TRADISI

(Sudi Kasus Prodi Seni Rupa FKIP UNS Surakarta)

Abstrak

Tulisan ini mengungkapkan secara empiris model pembelajaran Kuliah Kerja Lapangan (KKL) untuk mata kuliah seni rupa tradisi yang sudah dilakukan tiga tahun terakhir. Hasil pengembangan ujicoba menunjukkan bahwa pembelajaran KKL akan efektif apabila kegiatan kuliah tersebut dipraktekkan sebagai serangkaian proses pembelajaran bertahap, yang saling mendukung antara kompetensi satu dengan yang lain. Upaya mencapai kompetensi dapat diwujudkan dengan pendekatan kooperatif melalui berbagai metode dikolaborasi secara integral seperti karyawisata, kelompok, tugas, kuliah lapangan, diskusi, seminar dan pameran. Akhir serangkaian proses pembelajaran mampu memberikan kontribusi dalam membentuk subjek didik ke arah pengalaman proses yang berpengaruh positif dalam membentuk karakater sebagai pendidik, yang dilengkapi dengan kompetensi kesenimanan dan ilmuwan

Kata kunci : KKL, seni rupa tradisi, pembelajaran, penilaian


A. Pendahuluan

Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Seni Rupa (SR) Tradisi bobotnya tidak banyak hanya 1 SKS. Meskipun demikian tidak berarti muatan isinya harus semiskin bilangannya. Pengembangan materinya yang minimal itu bisa dirancang kaya dengan pengalaman, baik dalam tataran proses maupun hasil. Kenyataan ini memang menantang, namun sebenarnya memberikan peluang positif bagi pengembangannya. Ini artinya bahwa untuk menghadirkan pengalaman langsung perlu menawarkan model pembelajaran yang bernilai bagi subjek didik, sehingga model-model itu harus dicari, diciptakan dan senantiasa diuji keberadaannya.

Sudah bertahun-tahun bahkan lebih dari satu dekade, KKL Seni Rupa dilakukan dengan program tunggal, pergi ke Bali dan pulangnya menyusun laporan kunjungan sesuai yang ditugaskan. Sejak tiga tahun terakhir KKL SR tradisi tidak berupa kegiatan tunggal lagi, namun merupakan serangkaian kegiatan yang saling berkelanjutan dan menunjang satu sama lain. KKL didisain sebagai paket pemrosesan subjek didik sebagai raw input yang diolah melalui serangkaian proses agar matang, dan hasil yang dicapai bisa seperti yang diharapkan.

Sudah menjadi persepsi umum, bahwa KKL diartikan sebagai kegiatan tour, sedangkan aspek studi atau kuliahnya dipandang sebelah mata, sehingga komposisi substansinya tidak sedominan aspek tournya. Kesan penulis, dalam perspektif mahasiswa, KKL adalah sebagai kegiatan kuliah yang bersifat bersenang-senang. Meskipun mereka sadar bahwa kegiatan itu memerlukan uang cukup banyak, tetapi tidak dirasakan sebagai hal yang membebani. Menurutnya semua itu dinilai sebagai hal ringan dan biasa-biasa saja, rutinitas. Persepsi yang tidak menyenangkan itu setidaknya dilatari oleh pengalaman selama ini, bahwa KKL itu tabu apabila dilengkapi kuliah tatap muka di kelas. Sebab dalam pemahamannya aktivitas KKL dilakukan hanya sekali kegiatan, yaitu dengan cara piknik atau bersenang-senang, dan keyakinanya nilai KKL yang didapat rata-rata adalah baik (B), bahkan banyak nilai istimewa (A).

Berbagai persepsi tersebut mengundang satu pertanyaan, masih relevankah konsep KKL dan KKL seni rupa tradisi yang sedemikian? Apabila jawabannya tidak, lalu bagaimana model pembelajaran cerdas yang mampu membangun kompetensi perserta didik secara komprehensif? Jawaban atas pertanyaan ini adalah terletak pada bagaimana teknik yang tepat untuk mengatasi segala keterbatasan seperti aspek ruang dan waktu, namun memberikan dampak luas dan manfaat pembelajaran strategis.

Pada sisi lain kita sering menanyakan ulang, mengapa struktur pembelajarannya KKL amat terbatas, masihkah dianggap perlu kuliah tatap muka terstruktur? Apa sebenarnya yang telah diperoleh selama mengkuti KKL seni rupa? Pertanyaan-pernyataan itulah yang mendorong penulis menyusun model pembelajaran yang produktif dan inovatif. Dalam pembahasan ini akan dibicarakan berturut-turut konsep KKL, KKL seni rupa tradisi, pentingnya kuliah di ruang kelas, penerapan pembelajaran di lapangan, dan pembentukan karakter pendidik, seniman dan ilmuwan, serta pandangan dari pendekatan proses, model penilaian yang dikembangkan dan simpulan yang dapat ditarik.

B. Pembahasan

1. Reintepretasi dan Rekonseptualisasi KKL dan KKL SR Tradisi

Konsep KKL (kuliah kerja lapangan) pada dasarnya merupakan cara pembelajaran secara kongkrit di lokasi / luar ruangan kelas yang dilakukan dengan cara berwisata, tujuannya agar subyek didik memperoleh pengalaman langsung, yang diharapkan mampu membentuk diri subyek didik mengalami perubahan baik dalam aspek pengetahuan, sikap maupun ketrampilan dan nilai secara konstruktif (Subiyantoro, 1993: 61). Makna pendidikan ini masíh bersifat sempit, namun diharapkan pengalaman sekolah akan diproyeksikan dalam masyarakat secara luas, yakni membentuk fikiran, karakter dan kapasitas fisik yang berlangsung terus menerus seumur hidup (Manan, 1989: 9; Anshoiy & Pambayun, 2008: 2).

Konsep tersebut sangat positif, namun terkendala oleh fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa, persepsi umum penerapan KKL bersifat tour, jangka waktunya sesaat, kegiatan sebatas menyaksikan obyek, minim pelibatan secara proses, kegiatan tunggal dan diakhiri dengan membuat laporan. Secara praktis KKL dimaknai sebagai sarana piknik, terkesan bersenang (tour) dari pada studi, sehingga tidak jarang capaian hasilnya tidak seperti yang diharapkan. KKL secara normatif sebenarnya adalah sarana medekatkan teori dengan lapangan, karena itu ia merupakan belajar langsung, mengkongkritkan dunia pikiran subjek didik mengenai gambaran dunia nyatanya (Hammersley, 1990: 17).

Seni rupa tradisi dalam konteks ini adalah sebagai substansi dalam kegiatan KKL. Ia merupakan cabang seni rupa yang bersifat kolektif, pewarisan dilakukan turun temurun dan biasanya bersifat anonim, serta pada umumnya fungsinya untuk tujuan praktis (baca Subiyantoro, 2009). Berbagai cabang seni rupa tradisi yang pernah dilakukan untuk kegiatan KKL antara lain seni lukis wayang beber, kriya topeng, tatah sungging wayang kulit, kerajinan tanduk, kerajinan batik tulis, batik kayu patung loro blonyo dan arsitektur tradisional rumah joglo Mangkunegaran, kerajinan kuningan/ tembaga dan kerajinan keris. Ruang lingkup isi yang dikaji meliputi latar sejarah, proses pembuatannya, struktur visual, nilai-nilai kearifan lokal dan aspek lain seperti makna (nilai instisik) dan aspek perkembangannya.

KKL seni rupa tradisi dimaksudkan sebagai kuliah riil (lapangan) dimana subjek didik dapat mengamati proses dan situasi lingkungan, memperdalam dengan melibatkan secara praksis di tempat peristiwa yang dikaji (lihat Spreadley, 1980). Dalam hal ini para pelaku kegiatan kesenian tradisi seperti perajin, merupakan guru, sekaligus sebagai media untuk memperdalam gagasan, wawasan dan menggali pengetahun lebih jauh. Untuk menghadirkan pengalaman ini perlu diungkap dengan melalui wawancara mendalam (baca Spreadley, 1979), bahkan bisa menganalisis artefak yang telah ada atau sedang dikerjakan termasuk di dalamnya dokumen/ arsip yang bisa melengkapi informasi (baca Nasution, 1988). Dengan demikian lokasi kuliah merupakan arena kerja, situasinya kongkrit, melibatkan subjek langsung dan mengasah potensi yang diarahkan pada kompetisinya. Maka tidak ubahnya KKL seni rupa tradisi merupakan laboratorium yang di dalamnya terdapat bejana-bejana situasi yang sarat dengan fenomena menyangkut bentuk, proses, perwujudan, ide, pengalaman yang dapat diamati secara mendalam keberadaannya.

Dengan demikian KKL seni rupa tradisi melalui karya wisata hanyalah sebagai salah satu penerapan metode saja, ia sebagai sarana dan bukanlah tujuan, sehingga bisa dikolaborasi dengan metode produktif lainnya. Dengan demikian apabila melakukan KKL hanya menggunakan satu tempat dan bahkan cukup satu metode saja, maka sesungguhnya belum cukup sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Lalu bagaimana model yang efektif membelajarkan berbagai cabang seni rupa tradisi bisa dikuasai dalam satuan waktu amat terbatas? Maka penting dilakukan kuliah tatap muka terstruktur untuk memberikan arah kegiatan secara jelas.

2. Tatap Muka di Kelas: Upaya Memasuki Peta Kongkrit

Urutan KKL seni rupa tradisi merupakan serangkaian struktur kuliah dilakukan antara lain dengan kuliah pra lapangan (tatap muka), kuliah lapangan (baik secara internal-eksternal), dan kegiatan pasca lapangan seperti pameran dan saresehan. Tahapan kuliah di kelas merupakan proses awal yang melandasi tahapan kuliah lapangan (pra lapangan), dan kuliah lapangan merupakan tahapan proses berikutnya. Proses pembelajaran secara sistematis, saling melandasi tidak bisa dibolak-balik, dengan demikian kegiatan lapangan dan pasca lapangan amat tergantung pada kegiatan awal (pra lapangan). Rancangan ini menunjukkan betapa arti pentingnya kuliah tatap muka sebagai langkah membaca peta untuk memperjelas kompetensi yang akan dicapai dan cara mencapainya.

Kegiatan pra lapangan secara teknis dilakukan dengan pemberian materi awal secara tatap muka di kelas. Pertemuan ini dibahas silabus mata kuliah satu semester ke depan yang akan dijalani. Pada kesempatan penting ini subjek didik juga ditunjukkan tujuan yang ingin dicapai, prosedur kuliah yang melibatkan antara mahasiswa-dosen dan media, cakupan materi, metode yang dikembangkan dan sistem penilaian, termasuk kesepakatan kontrak kuliah mengenai rambu-rambu, aturan yang harus dihormati selama kuliah berlangsung, baik yang berkaitan dengan soal akademik maupun etika proses pembelajarannya.

Pada proses lanjut dilakukan kuliah teori, disampaikan beberapa kali dengan materi sekitar konsep seni rupa tradisi, dan berbagai cabangnya, metodologi seni rupa tradisi, penjelasan teknis lapangan, dan peta tugas yang dikerjakan secara kooperatif. Setelah tatap muka ada gambaran ke arah ranah yang kongkrit, dilakukan satu tatap muka konsultasi ke lapangan menyangkut soal ijin dan perangkat bahan maupun alat yang harus disiapkan.

Kegiatan lapangan tahap pertama merupakan kuliah di luar kelas dan bahkan di luar institusi, namun secara geografi masih berada di sekitar wilayah internal. Kegiatan ini sebagai landasan untuk melakukan kegiatan kedua yaitu kuliah lapangan di luar wilayah geografi (eksternal). Kuliah lapangan internal di lakukan di sekitar lingkungan Surakarta dan sebagian kecil di Yogyakarta, kedua wilayah merupakan pusat tumbuh dan berkembangnya seni rupa tradisi Jawa. Pemilihan lokasi didasari alasan perlunya subjek didik mengenal orientasi lokal agar tidak terlepas dari konteks lingkungan kebudayaannya sehingga tidak salah arah (Gong 70/VII/2005: 10). Kuliah secara eksternal dilakukan di luar wilayah Jawa biasanya di lakukan di Bali, tempat ini dipilih karena sebagai pusat kebudayaan seni rupa tradisi yang cukup kaya. Upaya bagaimana mengelola pembelajaran baik secara internal maupun ekternal memerlukan teknik dan strategi tersendiri.

3. Alternatif Pendekatan

a. Strategi Pembelajaran Pola Internal

Setelah memahami apa yang harus dilakukan dan bagaimana cara melakukan serta sampai sebatas mana yang harus dilakukan, maka tahapan kuliah lapangan dimulai. Proses kegiatan ini tidak lain adalah sarana untuk membentuk kompetensi subjek yang muatannya sarat dengan nilai-nilai seperti pendidikan, kesenimanan dan keilmuwanan. Nilai di sini adalah sesuatu yang dijadikan sebagai hal bermakna, hal yang sangat berarti dalam kehidupan (Sastraprateja 2000: 3). Oleh karena itu arti pentingnya nilai yang ingin dicapai menuntut strategi kuliah sebagai berikut:

1. Pembentukan kelompok kecil, setiap kelompok terdiri 3-4, dipilih secara demokratis melalui forum kelas dipimpin ketua tingkat, dosen hanya berperan sebagai fasilisator dan motivator.

2. Penjelasan tugas dilanjutkan pemberian materi kepada masing-masing kelompok secara demokratis dengan teknik random sampling, diserahkan masing-masing koordinator agar bisa menjamin keterbukaan. Tugas yang diberikan diundi secara transparan mengenai topik dan tempatnya, dengan demikian proses pemberian tugas tidak sepihak didominasi dosen, melainkan ada tawar menawar antara dosen dan mahasiswa. Dengan demikian struktur peristiwa dalam belajar mengajar bersifat terbuka (lihat Subiyantoro, 1993: 11).

4. Untuk memperlancar proses pengumpulan data di lapangan, mahasiswa diberikan kesempatan mengurus ijin ke lapangan dengan bimbingan dan konsultasi teknis.

5. Melakukan penelitian lapangan ke daerah tujuan selama 15 hari. Pendalaman ke lapangan diserahkan pada tanggung jawab kelompok yang dikoordinir ketua kelompok masing-masing. Dengan demikian terdapat interaksi antar anggota dalam kelompok, misalnya dalam menentukan waktu, mengambil keputusan, pembagian tugas, kebersamaan, dan seterusnya. Pendekatan secara demokratis ini dapat ditumbuh kembangkan melalui KKL dengan pendekatan kooperatif tanpa mengganggu kegiatan kuliah rutin. Bentuk kegiatan kuliah dan kerja di lapangan selain pengamatan proses terhadap situasi sosial di tempat terjadinya proses seni rupa tradisi, juga melakukan wawancara dan perekaman situasi dengan ketersediaan alat seperti kamera, sebagian lain memakai handicamp. Para subjek didik memiliki kesempatan luas untuk menelusuri, mendalami suatu realitas baik secara individual maupun secara kelompok.

5. Menyusun laporan kuliah kerja lapangan (internal) baik untuk laporan kelompok maupun yang individu. Setiap individu membuat laporan sendiri-sendiri yang harus berbeda dengan anggota lainnya. Hal ini dimaksudkan supaya ada kemampuan menulis untuk setiap idividu, sehingga ada pengalaman proses menulis.

6. Presentasi singkat pada masing-masing kegiatan kelompok. Dalam forum ini merupakan peristiwa berbagi pengalaman atas temuan dan pengalaman yang diperoleh masing-masing kelompok. Presentasi dengan media LCD, sehingga sangat efektif, bentuk dan proses dapat disajikan secara utuh dan kongkrit. Berbagai laporan setiap kelompok hasilnya dipadukan, sehingga diperoleh hasil kerja lapangan yang bervariasi. Dengan cara seperti ini masing-masing individu memiliki himpunan hasil yang lengkap dari semua kelompok sehingga sangat efektif sebagai bahan pembelajaran.

7. Setiap kelompok menyerahkan satu CD room hasil kegiatan lapangan berisi proses awal sampai dengan terakhir. CD room ini bisa menjadi media pembelajaran kelompok lainnya. Model ini juga bisa memicu subjek didik kreatif dalam mengaktualisasikan kompetensi kesenirupaan dengan keintelektualannya. Melalui strategi demikian KKL internal akan diperoleh banyak hasil meskipun dalam waktu relatif singkat.

b. Strategi Pembelajaran Pola Eksternal (Bali)

Kuliah kerja lapangan ekternal biasa dilakukan di pulau Bali. Tempat ini dinilai sebagai laboratorium seni tradisi lengkap dengan masyarakat yang di dalamnya para pendukung kebudayaan yang bersifat kolektif. Mengingat lokasi ini cukup jauh dan waktu kuliah amat terbatas, sedangkan cakupan nilai yang ingin dicapai cukup luas, maka langkah strategi pembelajaran ditempuh sebagai berikut:

1. Pembentukan kelompok secara demokratis sepenuhnya diserahkan mahasiswa melalui forum kelas yang dipimpin ketua tingkat. Setiap kelompok terdiri 3-4 anggota satu di antaranya sebagai ketua. Kelompok ini berbeda dengan susunan kelompok yang diterapkan kuliah kerja lapangan internal. Perbedaan anggota dimaksudkan supaya ada variasi. Penentuan anggota kelompok yang bervarisasi adalah cara belajar efektif melalui pasangan anggota kelompoknya. Hal ini memperkaya subjek menyerap pengetahuan dan juga pengalaman dari anggota kelompok maupun dengan kelompok yang berbeda (lihat Sugiyanto, 2007: 21).

2. Pemberian tugas secara demokratis, dilakukan dengan teknik undian random setiap kelompok yang difasilisatori dosen sebagai pendamping. Perosedurnya adalah masing-masing ketua kelompok mewakili mengambil undian terbuka, yang isinya adalah materi daerah sasaran yang akan ditempati KKL eksternal. Undian tempat amatan selanjutnya dibuka dan dibacakan di depan kelas sehingga dapat diketahui semua kelompok secara terbuka.

3. Pembekalan mahasiswa memasuki ke lapangan baik secara teknis maupun subtansi. Mahasiswa diberi kesempatan mengelola KKL secara mandiri dalam forum kelas. Peran dosen hanya fasilisator sedangkan secara langsung sepenuhnya dilakukan subjek didik. Ada nilai kerjasama individu dalam kelompok dan antar kelompok besar sebagai panitia. Peluang ini mampu mengembangkan nilai kebersamaan dan kemandirian dalam menjalankan tanggung jawab yang diemban masing-masing subjek didik

4. Praktek lapangan ke Bali selama empat hari, dua hari untuk perjalanan pulang dan pergi dari kampus ke tujuan dan sebaliknya, sedangkan dua hari lainnya adalah waktu untuk KKL di Bali. Mahasiswa sesuai tugas kelompok mengintensifkan pada bidang garapan masing-masing ke lokasi yang difokuskan. Tugas mereka antara lain mengamati, wawancara, merekam proses termasuk di dalamnya berbagai karya, dan menganalisis. Di lokasi tertentu juga dilakukan aksi kegiatan praktek kesenirupaan yaitu melukis dan membuat sketsa, kegiatan ini biasa di dilakukan di Bedugul. Bedugul adalah lokasi alam yang pemandangannya indah menarik dan nyaman untuk melakukan praktek kesenirupaan.

5. Menyusun laporan secara kelompok mencakup hasil wawancara, pengamatan, dan juga perekman artefak karya seni yang produknya adalah berupa CD room dan laporan tertulis.

6. Berkarya seni rupa secara individual. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai proses latihan mengasah kemampuan praktek. Apa yang dilihat, dihayati selama di Bali ditransformasikan sesuai minat masing-masing ke dalam bentuk visual. Langkah ini tidak lain adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban dirinya sebagai mahasiswa seni rupa yang dituntut memiliki pengalaman berkarya sebagaimana dilakukan para seniman.

7. Pameran bersama dilakukan satu kelas dalam tempat tertentu selama 2-3 hari. Pameran biasa dilengkapi katalog dan proses formalnya dibuka secara resmi oleh pimpinan Program Studi. Karya yang dipamerkan bervariasi tergantung pada minat subjek didik, bisa dua dimensi maupun tiga dimensi. Karya dua dimensi sebagian besar terdiri seni lukis, sketsa, sedangkan karya tiga dimensi berupa sebagian kecil patung, dan lainnya seni kriya. Kegiatan diikuti masing-masing secara individu membuat minimal satu karya di pamerkan setelah melalui seleksi yang dikelola sendiri oleh panitia, yakni mahasiswa iu sendiri.

7. Saresehan diikuti seluruh peserta kelas, mengupas seni rupa tradisi. Forum ini merupakan forum mempertemukan pengalaman mahasiswa setelah KKL, yaitu pengalaman secara proses dan hasil selanjutnya didiskusikan dengan dosen pengampu secara akrab (informal). Forum ini menjadi sarana untuk mempertemukan kemampuan secara integrated, ada pameran, diskusi hasil lapangan, dan refleksi kajian.

3. KKL dan Pembentukkan Karakter Pendidik, Seniman dan Ilmuwan

Struktur model pembelajaran yang telah diterapkan jika dicermati mulai dari kuliah tatap muka di ruang, KKL internal di lapangan serta KKL eksternal, bermuara pada ekplorasi informasi melalui sumber data yang dapat digali (informan, lokasi, peristiwa, dokumen/arsip dan karya). Upaya kerja lapangan dilakukan melalui mengamati proses pembuatan berbagai bentuk karya seni rupa tradisi. Rangkaian prosedur kajian dilakukan dengan melakukan wawancara, pengamatan terlibat namun dalam visualisasi karya, hal ini tentu menyangkut soal penghayatan. Pekerjaan ini tidak mudah, memerlukan teknik metodologis misalnya bagaimana teknik memilih informan, mewawancarai, mengumpulkan informasi valid.

Kegiatan mewawancarai adalah proses belajar kepada informan serta pada peristiwa langsung di sekitarnya. Keteraturan peristiwa yang hadir dalam susunan kegiatan yang dilakukan sejumlah orang, ada aktivitas, tempat serta relasi yang di antaranya di jadikan ruang, dan juga sarana untuk mendorong indera berfungsi dan terlatih, sehingga mampu menangkap interaksi timbal balik. Dalam keadaan demikian peran individu lebih sebagai instrumen, sebab kemampuan mengumpulkan informasi dan mengolahnya sangat tergantung pada peran individu. Semua rangkaian proses sangat terkait dengan upaya pembentukkan karakter keilmuwanan.

Aktivitas KKL juga melakukan aksi kesenirupaan di lapangan. Kegiatan praktek di lokasi meliputi membuat sketsa, melukis kesemuanya merupakan aktivitas melibatkan fisik secara langsung. Berkarya pasca KKL dalam beragam karya seni rupa tradisi baik seni lukis, kriya maupun patung adalah bentuk tindakan yang melibatkan organ fisik. Bahkan sampai kegiatan menyusun berbagai karya kelas dalam pameran agar bisa dilihat, dihayati, dinilai oleh pihak yang menyaksikan pada dasarnya berkenaan dengan kegiatan tangan, langkah gerak kaki, yang melibatkan seluruh tubuh. Kesemuanya ini mencerminkan aktivitas perilaku yang secara langsung melibatkan peran tubuh secara fisik subjek didik. Capaian aktivitas ini secara riil mampu menggerakkan jiwa dan kemampuan yang arahnya membentuk kompetensi kesenimanan menyangkut soal ketrampilan teknis yang fisikal.

Pada aspek lain, serangkaian kegiatan belajar membaca fenomena, dan penyerapan maknanya/ isinya, selanjutnya disusun dalam laporan tertulis yang disampaikan kepada anggota dan kelompok yang lain. Proses aktivitas menyusun laporan yang dibuat melibatkan soal bahan, teknik presentasi dan komunikasi antar kelompok. Dalam aspek peristiwa ini merupakan perwujudan forum komunikasi interaktif antara subjek dengan subjek maupun subjek dengan pendidik. Setiap kelompok mengkomunikasikan kepada kelompok lainnya melalui forum diskusi dengan media LCD. Beberapa kelompok kecil yang terdiri dari beberapa anggota bisa menawarkan pengalaman, didiskusikan sebagai media sharing pengetahuan. Forum ini membuka ruang masing-masing anggota kelompok berpartisipasi interaksi dengan audiens lain. Serangkaian kegiatan yang terkait seperti menyiapkan materi presentasi, menjelaskan, membuat media CD room hasil KKL internal dan juga KKL eksternal, serta diskusi kelompok, kesemuanya mencerminkan karakter sebagai pendidik.

Berbagai serangkaian kegiatan di lapangan yang dilakukan telah melibatkan subjek didik dalam berbagai dengan aspek. Aktivitas diskusi dan sarasehan sangat erat kaitannya dengan kemampuan membentuk karakter pendidik. Kegiatan kajian dan penulisan laporan mempengaruhi pembentukan karakter keilmuwanan. Berbagai kegiatan membuat karya dan pameran karya seni rupa lebih mengarah pada pembentukan karakter kesenimanan. Ketiga karakter yaitu pendidik, kesenimanan dan keilmuwanan tidak bisa dipisahkan apalagi berdiri sendiri, namun saling terkait. Satu sama lain. Betapapun demikian penekanan yang utama ranah pendidik tetap merupakan hal pokok, sedangkan dua lainnya menguatkan ranah utama tersebut. Ini artinya bahwa KKL seni rupa tradisi merupakan salah satu alternatif untuk membentuk kompetensi integratif yang saling mendukung pada kompetensi utama (bandingkan Uno dan Masri Kuadrat, 2009).

4. Memaknai KKL SR Tradisi: Tataran Proses

KKL sebagai sarana subjek didik menemukan diri melalui berbagai keterlibatan proses dibutuhkan serangkaian metode-metode. Komponen-komponen untuk mewujudkan aktivitas sebuah KKL memerlukan serangkaian proses yang bertalian. Keterjalinan proses menuntut penyelesaian dalam waktu dan substansi yang telah ditetapkan dalam tujuan yang ingin dicapai baik secara individual maupun kelompok kecil hingga kelompok kelas yang lebih besar.

Masing-masing unsur secara bertahap dalam keterlibatan diri subjek didik melalui variasi metode tidak lain adalah upaya menjadikan proses ”sebagai”. Ini berarti subjek didik sebagai raw input yang diolah telah diberikan kesempatan mematangkan dirinya, membentuk kepribadiannya menuju kompetensi yang ditentukan. Peran dosen tidak menjadi berarti, manakala mahasiswa (subjek didik) tidak secara langsung dilibatkan apalagi diberi ruang luas melibatkan diri.

Bagaimana keterlibatan langsung memanfaatkan pikirannya dalam menyelesaikan tugas atau masalah, setiap subjek menjadi bermakna keberadaannya ketika dirinya distimulasi dengan berbagai pendekatan melalui forum kelompoknya maupun dalam arena kelompok kelas. Kegiatan sejak persiapan ke lapangan dengan menyusun sejumlah pertanyaan untuk wawancara di lapangan, menyusun instrumen model pengamatan sampai dengan penerapannya di lapangan dalam mengumpulkan informasi adalah serangkaian pelibatan proses langsung aspek intelektualnya. Kegiatan mengembangkan kemampuan proses yang melibatkan intelektual tampak pula dalam kegiatan pasca KKL menyusun bahan presentasi dalam diskusi kelompok maupun diskusi kelas. Masing-masing individu dalam faorum kelompok berpeluang menjalin interaksi timbal balik, mengalami proses secara langsung, tentu dalam intensitasnya tidak sama. Pengalaman proses yang melibatkan aspek intelektual tingkat kuantitas dan kualitasnya sangat tergantung bagaimana kedalaman aktivitas individu yang bersangkutan.

Dari segi emosional subjek didik tidak terhindarkan terdapat beban tanggung jawab yang harus diemban sesuai tugas dan kewajiban yang dikonstruksi melalui forum kesepakatan kelompok. Proses perwujudan perilaku terarah mulai dari sejak tugas diumumkan, maka sejak itu pula emosi subjek telah terlibat dalam proses pemaknaan dirinya. Berbagai proses mencapai tujuan dari berbagai bentuk kegiatan KKL ke lapangan, keterlibatan sebagai kepanitiaan, baik sebagai koordinator, ketua seksi maupun sekretaris dan bendahara apalagi sebagai ketua baik kepanitiaan KKL eksternal, saresehan dan pameran merupakan sarana menstimulasi emosinya dilibatkan langsung secara proses dalam mewujudkan secara aktual tanggung jawab dan tugas yang dipikul.

Aspek emosional menjadi sangat penting dalam mematangkan kepribadian karena ketahanan emosinya dalam menghadapi dan mengendalikan semua tugas dan kewajibannya telah ikut serta mengambil bagian secara langsung mempengaruhi dan memproses subjek didik. Segala beban yang dipikul serta upaya perwujudan tanggungjawabnya dibutuhkan interaksi dengan dosen dan subjek didik lainnya, mereka saling mengendalikan perasaan satu sama lain. Dalam keadaan yang demikian sesungguhnya KKL seni rupa tradisi berperan positif membentuk subjek sebagai melalui aspek kestabilan emosionalnya.

Secara kongkrit setiap aktivitas yang dilakukan selama mengikuti serangkaian KKL pada dasarnya melibatkan secara langsung fisik subjek didik. Relasi gerakan fisik berkelanjutan satu sama lain, seperti tangan, kaki, indera dan organ lainnya dalam melakukan aktivitas merupakan proses belajar yang bernilai psikomotorik. Proses membuat karya dan serangkaian menysuun laporan tidak bisa terhindarkan dari kemampuan ketrampilan mengoperasikan komputer, demikian pula diskusi kelas yang melibatkan media LCD tidak terlepaskan dengan aspek ketrampilan menyusun power point dan sistem operasinya melalui LCD. Dan segala aktivitas lainnya dalam serangkaian KKL seperti kemampuan komunikasi, argumentasi dalam diskusi dan saresehan secara langsung melibatkan aspek fisik, yang dengan demikian telah ikut mengambil bagian dalam memproses diri subjek didik lebih trampil secara psikomotorik.

Apa yang dipaparkan di atas adalah bagaimana KKL seni rupa tradisi dikembangkan sebagai sarana membentuk karakter calon pendidik yang memiliki kompetensi integratif yang melibatkan berbagai aspek secara langsung sehingga ikut mengambil bagian dalam proses membentuk, seberapapun sumbangannya. Mengenai seberapa setiap diri subjek dengan tingkat kesadaran dan aktivitas menjadi terpacu, sangat tergantung dari peran dosen sebagai mitra belajar. Dalam hal ini peran sebagai motivator, dinamisator dan tentu sebagai fasilisator dalam membantu pemrosesan lebih intensif pada setiap diri subjek. Salah satu upaya untuk mendorong secara konstruktif melalui penghargaan yaitu penilaian atau feedback atas usaha yang dicapai baik secra individu maupun kelompok, dari sisi proses maupun hasilnya.

5. Model Penilaian yang Dikembangkan

Satu bentuk penghargaan sebagai keseimbangan atas kekuatan usaha baik secara proses maupun produk adalah berupa nilai. Pengolahan skor yang terwujud dalam simbol huruf A, B, C, dan D mampu menggerakkan subjek memobilisasi sikap dan perilaku produktif. Penilaian simbol A representasi istimewa, B adalah baik, dan C cukup, serta D mencerminkan kemampun kurang. Sistem penilaian yang meliputi kategori, bobot nilai, kriteria dan deskripsinya telah disampaikan pada kuliah perdana. Dalam hl ini subjek didik sudah paham apa yang harus dikerjakan, dan ingin dicapai, semua sudah ada dalam instrumen model penilaian yang dikembangkann.

Apa yang dinilai? Beberapa aspek yang dinilai meliputi aktivitas tatap muka, laporan KKL internal baik individu maupun kelompok, laporan kelompok KKL eksternal, karya pameran serta penghargaan kepanitiaan baik pameran maupun KKL eksternal, dan aktivitas selama diskusi (saresehan). Pada dasarnya peran dosen hanya mengolah, sedangkan isinya sepenuhnya tergantung dari usaha dan kemampuan subjek didik. Dengan demikian prinsipnya mahasiswa yang mencari, dosen mendampingi, membantu, menghitung dan mengolah sesuai dengan muatan kriteria yang ada atas capaian yang diperoleh masing-masing subjek didik.

Mekanisme penilaian dilakukan melalui pendekatan top down (hasil) dan buttom up. Penilaian top down (dari atas ke bawah) dilakukan dosen meliputi karya yang dipamerkan dan laporan KKL baik secara individu maupun kelompok. Penilaian dengan pendekatan buttom up (dari bawah ke atas) dilakukan oleh setiap mahasiswa. Mereka berhak menilai diri sendiri dan teman anggota kelompoknya maupun kelompok kelas. Materi yang dinilai secara proses antara lain meliputi tingkat partisipasi selama studi lapangan baik internal maupun eksternal, aktivitas kepanitiaan KKL, kepanitiaan saresehan dan kepanitiaan pameran.

Penilaian dari dua pendekatan ditemukan agar komprehensif secara proses dan hasil, sehingga ada transparansi penghargaan dari kaca mata mahasiswa maupun dosen. Dengan demikian nilai yang diperoleh mahasiswa sudah merupakan pemadatan dari berbagai aspek prestasi yang dicapai. Nilai tidak sekedar lambang angka kuantitas, tetapi kualitas, nilai bukan formalitas tetapi makna, nilai bukan hasil tetapi lebih bersifat proses, dan nilai bukan simbol sekuler melainkan historis sakral. Ini artinya bahwa nilai adalah suatu abstraksi yang merepresentasikan capaian integral dari berbagai kompetensi yang dibentuk melalui proses yang panjang.

Serangkaian proses prosedur, pola partisipasi subjek didik dan dosen dalam menentukan status penghargaan dilakukan secara menyeluruh dan proporsional. Pola aktivitas menilai menunjukkan partisipasi subjek didik menilai dirinya, subjek didik juga menilai temannya, sedangkan subjek mendapat feedback dari dosen, dan dosen menilai pekerjaan subjek didik. Pola penilain yang dikembangkan sangat lengkap dan tepat melalui pendekatan yang saling melengkapi (Uno & Masri Kuadrat, 2009: 74).

C. Penutup

Pembelajaran kuliah kerja lapangan tidak identik dengan wisata apalagi dimaknai sebagai bentuk bersenang-senang. Karyawisata hanyalah salah satu metode pembelajaran termasuk di dalamnya KKL, sehingga aspek mobilitas tour hanyalah sebagai sarana, sedangkan study adalah yang utama. Konsep KKL secara nyata merupakan kuliah bersifat kongkrit langsung di lapangan namun bisa dikembangkan sebagai satu kesatuan proses yang dilengkapi dengan kuliah awal di kelas. Pelibatan proses pembelajaran di lapangan pencapaiannya perlu ditopang dengan berbagai metode atau teknik, yang polanya memerlukan model pembelajaran tersendiri dengan pra-lapangan, tahap lapangan dan kegiatan pasca lapangan. Konsekwensi kegiatan bertahap menuntut pelibatan metode variatif seperti ceramah, karyawisata, tugas-kelompok, diskusi (saresehan), dan pameran. Dengan demikian KKL dalam seni rupa tradisi mampu menjadi sarana mengembangkan kompetensi mahasiswa secara integratif dan komprehensif yakni membentuk karakter sebagai pendidik, seniman dan ilmuwan yang diproses melalui serangkaian pengalaman langsung secara intelektual, emosional dan secara fisik atau motorik.

Mengingat keberadaan mata kuliah KKL sangat potensial dalam membetuk karakter pribadi subjek didik secara positif dalam berbagai aspek, kedudukan mata kuliah tersebut perlu direvitalisasi. Upaya ini secara sederhana dapat dimulai dari penyesuaian jumlah SKS yang proporsional, dan perlunya rekonseptualisasi dan reinterpretasi mata kuliah KKL seni rupa tradisi secara tepat.

D. Referensi

Anonim. “Pendidikan Seni Alternative”. Gong Media, Seni, dan Pendidikan Seni. Edisi 70/VII/2005. h 6-13

Anshoiy, S. Pambayun.2008. Pendidikan Berwawasan Kebangsaan Kesadaran Ilmiah Berbasis Multikulturalisme. Yogyakarta: LkiS

Hammersley, M. 1990. Classroom Ethnography, Empirical and Methodological Essays Modern Educational Thought. Terjemahan Warsono. Philadelphia: Open University Press.

Manan, I. (1989). Antropologi Pendidikan Sebuah Pengantar. Jakarta : Depdikbud, Dirjen Diktiproyek PLPTK

Nasution. 1988. Penelitian Naturaistik Kualitatif. Bandung: Tarsito

Sastrapratedja. 2000. "Pendidikan Nilai". dalam Pendidikan Nilai. (Sastrapratedja ed.). Jakarta: Gramedia.

Spradley, J.P. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winstons

Spradley, J.P. 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winstons

Sugiyanto. 2007. “Model-model Pembelajaran Inovatif” dalam Modul Pendidikan dan Latihan Profesi Guru. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13

Subiyantoro, S. 1993. Strategi Relajar Mengajar I (BPK). Surakarta: UNS Press

Subiyantoro, S. 2009. Loro Blondo dalam Rumah Tradisional Jawa: Studi Kosmologi Jawa. Disertasi S3. Yogjakarta: FIB UGM

Uno, H.B., Masri Kuadrat, 2009. Mengelola Kesadaran Dalam Pembelajaran Sebuah Konsep Pembelajaran Berbasis Kecerdasan. Yogyakarta: Bumi Aksara Yayasan Media dan Seni

E. Riwayat Penulis

Slamet Subiyantoro. Lahir Klaten, 21-05-1965. Gol IVc, Pendidikan lulus D3 Seni Rupa & Kerajinan IKIP Yogyakarta (1987), S1 Seni Rupa & Kerajinan IKIP Yogyakarta (1989), S2 Antropologi Seni UI Jakarta (1998), S3 Antroplogi Budaya UGM Yogyakarta (2009). Pengalaman sebagai reviewer penelitian (LPPM UNS, Fak Sastra UNS, Dikti, ISI Surakarta), Pengelola jurnal ilmiah PBS FKIP (2001-2002; 2009-sekarang), Jurnal Cakrawisata LPPM UNS (1998-sekarang). Peneliti PUSPARI LPPM UNS (1998-2006), peneliti PPLH LPPM UNS (2006-sekarang). Penelitian yang sudah dikerjakan 70 judul meliputi penelitian kompetitif: dosen muda, fundamental, hibah bersaing, Menristek dan LIPI maupun kerjasama antar instansi dan dana internal UNS. Artikel yang ditulis 27 judul, 9 judul di antaranya dimuat pada jurnal terakreditasi. Beberapa artikel dimuat pada jurnal Paedagogi UNS, Dwijawarta UNS, SENI ISI Yogyakarta, Dikti, ISI Gelar Surakarta, ISI Dewa Ruci Surakarta, Humaniora UMS, Humaniora UGM, Cakrawisata LPPM UNS, Spektrum PBS, Varidika FKIP UMS, Ilmu Sosial UMS, Seni Rupa UNIMED Medan. Buku yang ditulis Filsafat Seni (2005) Revitalisasi Wayang Orang (2006), Antropologi Seni (2007) dan Seminar (2008)

0 komentar:

Posting Komentar